MAKALAH DELIK KORUPSI
(Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan
Korupsi di Indonesia)
OLEH :
PINUS
JULIANTO SINAGA
(101010208)
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM RIAU
2013
KATA PENGANTAR
Makalah ini disusun agar pembaca
dapat memperluas tentang ilmu
hukum yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan merupakan tugas dari mata
kuliah Delik Korupsi di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau(UIR). Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini
membahas tentang “Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di
indonesia”.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbing
penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara saya menyusun makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas kepada pembaca.Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan,
untuk itu kritik dan saran yangmembangun
dari semua pihak kami harapkan. Terima kasih.
Pekanbaru, November 2013
Pinus Julianto S
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar..........................................................................................................................i
Daftar
Isi...................................................................................................................................ii
Bab I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
a.Latar Belakang Masalah................................................................................1
b. Rumusan Masalah........................................................................................3
1. Bagaimanakah
Fenomena Korupsi di Indonesia ?.................................3
2. Bagaimanakah Penegakan
Hukum Pidana
Dalam
Pemberantasan Korupsi di indonesia ?......................................3
c. Tujuan Penulisan..........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4
a. Fenomena Korupsi di Indonesia...................................................................4
b.
Penegakan Hukum Pidana Dalam
Pemberantasan
Korupsi
dindonesia......................................................................................5
BAB III PENUTUP........................................................................................................14
a. Kesimpulan..................................................................................................14
b. Saran............................................................................................................14
Daftar
Pustaka.........................................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kata korupsi bersal dari
bahasa latin, yakni corruptio atau corruptus. Dari bahasa latin itulah kemudian
kata korupsi berkembang di negara-negara Eropa, seperti corruption, corrupt,
corruptie. Arti harifah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral. Korupsi merupakan permasalahan yang banyak dialami sebagian Negara di
dunia. Ini merupakan kejahatan yang mudah menjalar di karenakan pada dasarnya semua
manusia mempunyai sifat yang serakah dan hanya mementingkan kepentingan diri
sendiri. Di Indonesia korupsi sudah menjalar kesegala kehidupan, kesemua
sektor, dan segala tingkatan, baik pusat maupun daerah. Hal ini disebabkan
korupsi telah terjadi sejak puluhan tahun lalu yakni sejak zaman
kerajaan dimana rakyat nya di wajibkan untuk memberikan upeti kepada raja
sebagai simbol terimakasih. Banyaknya orang yang terlibat dan juga adanya
sebuah kekuatan besar dibelakangnya ”kadar-kadarnya”, membuat korupsi menjadi sulit untuk diberantas sampai
keakar-akarnya. Cara yang seperti ini sering gunakan pelaku untuk melindungi diri dari jeratan
hukum. Ditambah lagi adanya guyonan orang batak yang menyatakan”hepeng do na mangatur
negaraon” atau dapat di artikan “duit yang mengatur negara ini atau dengan duit semua
dapat di beli”.
Seperti realita yang terjadi saat ini, dimana
para koruptor bebas untuk keluar masuk penjara ataupun dapat menikmati
fasilitas yang lebih dalam penjara dibandingkan orang lainnya, asalkan membayar
sejumlah uang dalam jumlah tertentu kepada oknum Lembaga Permasyarakatan(LP). Ini menunjukan buruknya moral aparat penegak hukum dan juga buruknya
sistem hukum yang ada di Indonesia. Perilaku korupsi tidak terjadi di
pemerintah pusat saja melainkan telah merambah ke daerah-daerah baik di lembaga
eksekutif maupun legislatif, dan yang lebih ironis korupsi itu selalu dilakukan
oleh Pejabat Publik dengan cara abuse of power[[1]]. Berbagai profesi seolah-olah berlomba
melakukan korupsi dengan menggasak keuangan negara, para koruptor merasa tidak
bersalah dan tidak takut terhadap “kutukan moral”[[2]].Dan cap buruk dari masyarakat.
Ruang lingkup korupsi mencakup institusi sosial,
politik, ekonomi, budaya (pendidikan,
agama dan sebagainya), pertahanan, keamanan, dengan rentang waktu yang panjang: masa lalu, masa kini dan masa depan
yang berkaitan dengan fungsi integritas hukum dan stratifikasi hukum pada semua strata institusi sosial[[3]].
Hukum harus mampu menjangkau para koruptor yang
berlindung dibalik kekuasaan, sebagai contoh seorang terindikasi melakukan
suatu kejahatan korupsi namun di karenakan ia berasal dari kadar atau
anggota partai politik yang mana pada
saat itu kekuasaan tertinggi( presiden ) berasal dari partai nya. Nah, hal
seperti ini lah yang harus di hilangkan dari penegakan hukum” law enforcemnet
“. Kalau tidak, masyarakat Indonesia bisa menghadapi krisis kepercayaan
terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan kepada hukum itu sendiri. Seperti yang terjadi
seperti saat masyarakat saat ini yang merasa bingung akan kinerja KPK ( Komisi
Pemberantasan Korupsi ) dalam menangulangi kasus korupsi yang ada di indonesia.
Disini juga di butuhkan peran media
komunikasi untuk memberikan informasi secara tuntas supaya masyarakat dapat
memantau perkembangan kasus korupsi yang terjadi dimana dengan demikian akan
mengembalikan rasa percaya akan penegakan hukum khusus nya penegakan hukum
tindak pidana korupsi.
Oleh sebab itu di perlukan penegakan hukum
yang di konsep secara baik agar hukum itu berfungsi secara efektif dan dapat
memberikan suatu efek jera kepada para koruptor yang melakukan tindakan korupsi
khususnya di Indonesia.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Korupsi Yang Terjadi di Indonesia ?
2. Bagaimanakah Penegakan Hukum
Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di indonesia ?
c. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui korupsi yang terjadi di Indonesia
2. Untuk mengetahui
penegakan hukum pidana dalam pemberantasan korupsi di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Korupsi Yang Terjadi Di Indonesia
Korupsi bukan lah hal
yang baru dalam kehidupan bangsa indonesia. Bangsa indonesia sejak dahulu sudah
di biasakan dengan perilaku memberikan upeti kepada kerjaan sebagai ucapan
terimaksih. Perilaku korupsi zaman Kerajaan Matram yang melahirkan Perang Diponegoro(
1825-1830 ) akibat tinginya pemungutan pajak dan korupsi pejabat kerajaan.[[4]]
perilaku memberi upeti ini lah yang sekarang kebanyakan di tiru oleh rakyat
indonesia. Sebagai contoh yang kecil yakni dalam pengurusan SIM( Surat Izin
Megemudi) pengalaman pribadi saya saat mengurus SIM masih banyak saya jumpai
tindakan yang menyimpang dari aparat negara tersebut, yakni proses dan prosedur
yang cukup panjang dapat di persingkat hanya dengan memberikan sejumlah uang
kepada aparat maka tidak perlu mengikuti prosedur ujian SIM orang tersebut akan
langsung secara sah memiliki SIM, masih banyak contoh yang sering di jumpai
dalam masalah budaya memberi upeti ( ucapan terimakasih ) yakni pengurusan
paspor pengurusan KTP ( Kartu Tanda Penduduk ), Pengambilan Putusan PN sebagai
bahan untuk penulisan skripsi Mahasiswa Hukum,dsb.
Di indonesia terdapat
suatu lembaga yang memonitoring tindak pidana yakni indonesian coruption wathc yang mengatakan bahwa kasus korupsi paling
marak terjadi di Tahun 2013, dalam artian penangkapan para koruptor yang
terjadi paling marak di tahun 2013. Sebagian besar koruptor yang di tangkap
adalah para angota partai politik yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dan
para wakil rakyat tersebut menyalahgunakan kekuasaannya. Faktor penyebab dari
banyak nya koruptor yang berasal dari partai politik yakni; 1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan
ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu, 2. Muncul pemimpin yang mengedepankan
kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum, 3. Sebagai
oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat, 4.
Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta
dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup, 5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada
beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada
pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
Terdapat banyak bendahara partai politik yang tersangkut
korupsi, diantaranya seperti bendahara umum partai demokrat “ Nazarudin“.
Terdapat banyak dana terlarang yang di pergunakan oleh partai politik dalam
melaksanakan kampanye
B. Penegakan Hukum
Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Berbicara penegakan hukum
ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan untuk menciptakan pemerintahan
yang bebas dari korupsi, meskipun ada kebijakan publik di bidang hukum
sebagimana dinyatakan oleh Thomas R. Dye, “ whatever
goverments to do or not to do”.[[5]].
Tindak pidana korupsi yang biasanya diikuti
dengan kolusi dan nepotisme dapat dikatakan sebagai suatu “the white collar crime”
sekaligus economic crime yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan
negara. Kegiatan tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi kegiatan
perekonomian dan pembangunan suatu negara yang pada gilirannya dapat
menimbulkan dampak krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya
kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime.
Hal ini terjadi akibat tiadanya kesadaran dan
kepatuhan hukum pejabat penyelenggara negara yang mengarah pada tindakan
deviance (pembangkangan) terhadap nilai-nilai dan sikap hidup individu yang
baik.[[6]] Nilai-nilai itu adalah berupa norma-norma
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara diantaranya norma
agama,kesopanan,kesusilaan,dan norma hukum. Norma tersebut sangat berpengaruh dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang terjadi.
Akibat negatif dari adanya tindak pidana
korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan
perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.[[7]] Korupsi sangat
merugikan banyak orang, bukan saja merugikan negara tapi merugikan segenap
bangsa dimana terdapat perampasan hak yang di lakukan oleh para koruptor demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya.. Pemberantasan Korupsi menjadi masalah nasional yang harus dilakukan pemerintah sampai kapanpun
guna dapat mewujudkan pemerintahan dan negara yang betul-betul bebas dari
perilaku korupsi.
Korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik
dan endemik sehingga tidak saja merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial (economic dan
social right) masyarakat secara meluas.[[8]].
Kejahatan korupsi pada beberapa negara juga dianggap sebagai pelanggaran HAM
yang menyangkut dengan kepentingan rakyat banyak (publik). Ini disebabkan,
kejahatan korupsi dapat merusak sendi-sendi peradaban dan nama baik suatu
bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional sehingga perbuatan itu dapat
dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan” (crime against humanity) yang
harus memperoleh prioritas utama dalam pemberantasannya. Dalam hukum pidana
Indonesia, delik korupsi termasuk dalam klasifikasi hukum pidana khusus yang
diprioritaskan penanganannya oleh aparat penegak hukum ketimbang delik-delik
yang bersifat umum.[[9]]
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian
secepatnya.[[10]]
Jika terdapat dua atau lebih perkara yang boleh oleh undang-undang ditentukan
untuk didahulukan, maka penentu mengenai penentuan prioritas perkara tersebut
diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang disetiap proses peradilan.
Menurut Athol Noffitt, ia mengemukakan bahwa
“sekali korupsi dilakukan apalagi bila dilakukan oleh pejabat-pejabat yang
tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”.[[11]]
Lebih lanjut ia mengatakan “tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa
dari pada korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi
melemahkan garis belakang baik damai maupun perang”. Perilaku buruk pejabat
tinggi akan mempengaruhi kuantitas korupsi
dan akan semakin sulit diberantas.Walaupun negara selalu berbenah diri
dalam menghadapi kejahatan korupsi, namun selalu ada celah bagi penyelenggara negara dan pejabat daerah untuk
tetap melakukan korupsi yaitu karena
adanya peningkatan sumber-sumber kekayaan negara dan daerah yang selama ini
memang memberikan banyak harapan bagi koruptor. Sumber keuangan negara dan
daerah dimanfaatkan oleh mereka yang mengelolanya ataupun pejabat yang
memberikan pelayanan publik untuk memperkaya diri sendiri dan juga orang lainnya termasuk
korporasi.
Inilah salah satu kelemahan yang bangsa
Indonesia hadapi sekarang. Seiring dengan itu, Teguh Sulistia, Aria Zurnetti,
mengemukakan bahwa ada indikator dalam peningkatan aktifitas KKN selama ini.
Indikator tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yakni sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya lembaga politik (partai
politik, pemerintah (depdagri, Kementerian PAN, KPKPN) ataupun lembaga swadaya
masyarakat) yang efektif dan mampu untuk mengontrol dengan ketat perilaku KKN
para penyelenggara negara. Kedua, tidak adanya partisipasi partai politik yang
signifikan dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya rakyat miskin,
tokoh-tokoh masyarakat, baik di kota maupun desa untuk melakukan tekanan
terhadap pemerintahan yang korup. Ketiga, tidak adanya lembaga hukum (kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan) dengan sanksi hukum yang betul-betul mempunyai
kekuatan riil dapat menyadarkan dan menjerakan perilaku KKN para penyelenggara
negara.[[12]]
Meskipun kejahatan korupsi sudah begitu parah
dan masif, sehingga timbul istilah “korupsi sudah membudaya” dalam kehidupan
suatu bangsa dengan tatanan hukum yang rapuh,[[13]]
namun upaya penegakan hukum untuk memberantasnya seolah-olah mengalami
kebuntuan. Bisa jadi disebabkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat merupakan
pejabat penting negara yang mempunyai kekuatan besar dibelakangnya dan juga
adanya kesulitan dalam pembuktian bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh seorang, kelompok orang ataupun korporasi yang merugikan
keuangan negara dan masyarakat.
Penerapan asas beban pembuktian terbalik
terbatas atau berimbang dalam Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 memberikan pula kesempatan para tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa
dirinya memang tidak bersalah dengan mengemukakan bukti-bukti yang dimilikinya,
sekurangnya kesulitan pembuktian di depan sidang pengadilan dapat meringankan
tugas-tugas kejaksaan dalam upaya pembuktian kesalahan terdakwa. Efektivitasnya
masih perlu dibuktikan dari sistem pembuktian yang baru diberlakukan dalam
kasus-kasus mega korupsi yang belum tuntas sampai saat ini seperti Proyek
Hambalang, Bank Century, kasus Simulator
SIM di tubuh polri dan lain sebagainya. Penyelesaian kasus korupsi harus di
dahulukan penyikannya artinya penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan dibandingkan dengan
tindak pidana bukan korupsi.[[14]] Apabila mega korupsi ini diselesaikan dengan
baik akan menjadi contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak lagi tebang
pilih dalam penerapan hukumnya.
Dikaitkan dengan perkembangan hukum pidana
dan reformasi hukum, tidak hanya harus memperhatikan hak-hak para
tersangka/terdakwa, akan tetapi juga harus memperhatikan hak-hak korban.
Artinya, kerugian yang dialami oleh negara dan rakyat harus dilindungi dengan
baik dalam rangka mencapai tujuan nasional, yaitu “masyarakat adil dan makmur”,
maka pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak bisa
ditawar-tawar lagi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Perilaku KKN pejabat publik sebagai elit penentu selama ini terbukti
amat merugikan dalam pembangunan. Elit penentu yang mengemban citra ideal
masyarakat akhirnya berubah menjadi kebencian masyarakat. Kini saatnya segenap
kekuatan reformis berpacu untuk melawan korupsi, kolusi dan nepotisme.[[15]]
Pemberantasan KKN harus sejalan dengan penegakan hukum yang tegas dan didukung
pula dengan lembaga hukum yang kuat dan independen, tanpa itu, penegakan hukum
sulit tercapai. Semua itu dimaksudkan agar kekuasaan yang diatur oleh hukum
merupakan suatu kebebasan yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur
memperolehnya, semuanya ditentukan oleh hukum.
Lembaga hukum yang khusus dibentuk untuk
melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya sudah ada sejak
lama. Namun namanya saja yang seringkali berubah. Karena lembaga itu hampir
bisa dikatakan dalam pemberantasan korupsi mengalami kegagalan. Seperti masa
orde lama, tercatat beberapa kali dibentuk badan pemberantasan korupsi yakni
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dibentuk dengan perangkat aturan
Undang-Undang Keadaan Bahaya dan lembaga yang dikenal dengan nama Operasi Budhi
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963. Serta Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang menggantikan Operasi Budhi.
Pada masa orde baru, setidaknya ada empat lembaga yang dibebani tugas untuk
melakukan pemberantasan korupsi, yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967.
Karena dianggap tidak serius memberantas korupsi, maka dibentuklah Komitte
Empat berdasarkan Keputusan Presiden No.
12 Tahun 1970 Tanggal 31 Januari 1970. Kemudian dibentuk lagi Operasi Tertib
(Opstib) berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977. Terakhir
dihidupkannya kembali Tim Pemberantasan Korupsi “baru” pada tahun 1982 tanpa
menerbitkan putusan presiden yang baru. Pada masa era reformasi dibawah
kepemimpinan Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 yang
mengamanahkan Pembentukan Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN),
KPPU, maupun Lembaga Ombudsmen. Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur),
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 namun melalui judicial review akhirnya TGPTPK
ini dibubarkan karena berbenturan dengan UU No. 31 Tahun 1999. Kemudian dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka tugas KPKPN melebur ke
dalam KPK.[[16]]
Menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti dalam
bukunya mengatakan, ada sepuluh langkah dalam upaya pencegahan merebaknya
perilaku KKN secara konseptual, guna tercipta suatu pemerintahan yang bersih
dan baik pada masa depan negeri ini. Langkah-langkah tersebut yaitu:
1. Adanya
kesadaran hukum rakyat atau warga masyarakat berperan serta memikul tanggung
jawab bersama terhadap masa depan bangsa dan negara, berupa pasrtisipasi politik
dan kontrol sosial serta tidak bersikap apatis, acuh tak acuh dengan merebaknya
KKN.
2. Menanamkan
pada pejabat publik (legislatif, eksekutif yudikatif) dalam melaksanakan tugas
negara sebagai amanah rakyat adanya aspirasi nasional dalam rangka memulihkan
ekonomi bangsa, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran dan disiplin
serta pengabdian pada bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, keluarga,
dan kelompok atau golongan.
3. Para pemimpin dan pejabat negara memberikan
teladan yang baik dengan mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki rasa
tanggung jawab moral, sosial, dan hukum terhadap rakyat dan masyarakat
daerahnya.
4. Adanya
sanksi hukum yang berat dengan kekuatan yuridis oleh aparat penegak hukum untuk
menindak/memberantas dan menghukum para pelaku KKN tanpa sikap diskriminatif.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui
penyederhanaan jumlah instansi bawahannya.
6. Sistem
penerimaan pegawai pemerintah berdasarkan “achivement” atau keterampilan teknis
dan bukan berdasarkan “ascription” atau kedekatan (kekerabatan) sehingga
memberikan keluasan bagi berkembangnya kolusi dan nepotisme.
7.Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai
negeri nonpolitik yang profesional, terampil dan rajin demi kelancaran administrasi
pemerintahan ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai dengan jaminan
masa depan yang baik, sehingga berkurang kecende-rungan untuk melakukan KKN.
8. Menciptakan
aparatur pemerintahan yang jujur, bermoral, dan bersih. Kompleksitas hierarki
administratif pemerintahan harus disertai pula disiplin kerja yang tinggi,
sedangkan penerimaan jabatan dan penge-lolaan pendapatan atau belanja keuangan
negara/daerah harus didistri-busikan melalui norma-norma teknis dan transparan
yang dapat dikontrol dan diketahui oleh rakyat.
9. Menciptakan
sistem keuangan (budget) yang dikelola pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung
jawab etis dan moral tinggi yang diikuti dengan sistem kontrol efesien dan
efektif. Selain itu, dalam menyelenggarakan sistem pemungutan pajak, bea,
cukai, dan retribusi harus jelas dan efektif peruntukannya serta didukung
dengan supervise yang ketat, baik ditingkat pusat maupun daerah.
10. Pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat
negara harus dilakukan sebelum, selama dan seusai menjabat secara periodic
dengan asas praduga tidak bersalah. Bagi kekayaan pejabat negara yang statusnya
tidak jelas, tidak dilaporkan dan diduga kuat hasil KKN, maka harta tersebut
dapat langsung disita oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.[[17]]
Dari pendapat diatas, yang terpenting dalam penanganan kasus
korupsi adalah perilaku moral dari setiap individu baik yang akan berbuat
maupun yang telah berbuat korupsi( koruptor). siapa saja bisa terkena imbas dari perbuatan buruk tersebut bisa negara dan
masyarakat yang tidak tau menau.
Oleh karenanya kesadaran hukum, kepatuhan hokum,penegakan hukum yang
benar dan moral merupakan hal esensi atau hal yang sangat
berpengaruh dalam penanganan
kasus korupsi. hukum yang buruk akan menjadi baik bila aparat penegak hukum
memiliki moral yang baik dan hukum yang baik akan menjadi buruk bila aparat
penegak hukum tidak memiliki moral yang baik. Moral itu kalau saya
artikan yakni berbicara masalah benar dan salah (wright and wrong ) dan juga mengenai kebaikan dan keburukan ( goodness and badness )
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi merupakan kejahatan transasional yang
dikategorikan ke dalam extra ordinary crime, yang dibutuhkan penanganan secara
cepat sehingga jika terbukti pelaku bersalah, maka pelaku dapat dikenakan
sanksi pidana dan di masukan kedalam penjara serta mengembalikan kerugian
negara yang telah dikorupsikan demi melindungi negara dan warga masyarakat. Tiga komponen penting dalam penegakan hukum
yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Dalam melakukan
tugasnya, masing-masing harus profesional dan tidak mudah terbujuk rayu akan
janji manis koruptor yang justru akan merugikan diri mereka sendiri.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat
disarankan sebagai berikut:
1. Penanganan
korupsi jangan saja bertolak dari penanganan penal melainkan juga harus dari
non penal, karena kejahatan korupsi juga berkaitan dengan moral pelaku yang
buruk.
2. KPK dalam menangani
kasus korupsi harus dengan maksimal karna ini merupakan kejahatan yang bukan
saja merugikan negara namun merugikan masyarakat banyak,dengan kata lain KPK
harus lebih banyak mengungkap kasus korupsi, bukan hanya mengungkap tapi
terdapat penyelesaian perkara yang jelas dengan menghukum terpidana korupsi
(Koruptor) dengan hukuman yang sesuai dengan tujuan dari pada pemidanaan yakni
memberikan suatu momok yang menakutkan supaya tidak timbul koruptor-koruptor
baru.
DAFTAR
PUSTAKA
Adib Bahari, khotibul Usman. 2009. KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z.
Cet. Pertama. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program
Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum
Pidana. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ongkoham, Tradisi
dan Korupsi dalam Mocthar Lubis dan James. C. Scott(ed), Bunga Rampai Korupsi, ( Jakarta:
LP3ES,1995)
R. Wiyono.2012. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.Sinar Grafika.Jakarta.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Syed Hussein Alatas. 1986. Sosiologi Korupsi. LP3ES. Jakarta.
Thomas R. Dye, 1978, Understanding
Public Policy, Prentice Hall., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti. 2011. Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi).
Cet. Pertama. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
([5]) Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Prentice
Hall., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, hlm. 3. Defenisi yang di berikan
oleh Dye ini meskipun cukup sederhana menunjukan betapa luasnya kebebasan
bertindak( freis ermensen ) bagi
pemerintah untuk memilih tindakan dan kebijakan yang tepat menyangkut
kepentingan publik atau rakyat termaksud juga dalam hal penegakan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar