20 Desember 2013

MAKALAH DELIK KORUPSI



MAKALAH DELIK KORUPSI
(Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia)



OLEH :
PINUS JULIANTO SINAGA
(101010208)
  

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2013






KATA PENGANTAR
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas tentang ilmu hukum yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan merupakan tugas dari mata kuliah Delik Korupsi di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau(UIR). Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini membahas tentang Penegakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di indonesia”.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen  yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara saya menyusun makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yangmembangun dari semua pihak kami harapkan. Terima kasih.


        Pekanbaru,  November 2013

                  Pinus Julianto S

DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
Bab I   PENDAHULUAN.........................................................................................................1
                        a.Latar Belakang Masalah................................................................................1
                        b. Rumusan Masalah........................................................................................3
1. Bagaimanakah Fenomena Korupsi di Indonesia ?.................................3
2. Bagaimanakah Penegakan Hukum  Pidana
    Dalam Pemberantasan Korupsi di indonesia ?......................................3
                        c. Tujuan Penulisan..........................................................................................3
BAB II                        PEMBAHASAN...................................................................................4
                        a. Fenomena Korupsi di Indonesia...................................................................4
                        b. Penegakan Hukum  Pidana Dalam Pemberantasan
    Korupsi dindonesia......................................................................................5
BAB III          PENUTUP........................................................................................................14
                        a. Kesimpulan..................................................................................................14
                        b. Saran............................................................................................................14

Daftar Pustaka.........................................................................................................................15







BAB I
                                                                PENDAHULUAN                                      
a.       Latar Belakang
Kata korupsi bersal dari bahasa latin, yakni corruptio atau corruptus. Dari bahasa latin itulah kemudian kata korupsi berkembang di negara-negara Eropa, seperti corruption, corrupt, corruptie. Arti harifah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral. Korupsi merupakan permasalahan yang banyak dialami sebagian Negara di dunia. Ini merupakan kejahatan yang mudah menjalar di karenakan pada dasarnya semua manusia mempunyai sifat yang serakah dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Di Indonesia korupsi sudah menjalar kesegala kehidupan, kesemua sektor, dan segala tingkatan, baik pusat maupun daerah. Hal ini disebabkan korupsi telah terjadi sejak puluhan tahun lalu yakni sejak zaman kerajaan dimana rakyat nya di wajibkan untuk memberikan upeti kepada raja sebagai simbol terimakasih. Banyaknya orang yang terlibat dan juga adanya sebuah kekuatan besar dibelakangnya ”kadar-kadarnya”, membuat korupsi menjadi sulit untuk diberantas sampai keakar-akarnya. Cara yang seperti ini sering gunakan pelaku untuk melindungi diri dari jeratan hukum. Ditambah lagi adanya guyonan orang batak yang menyatakan”hepeng do na mangatur negaraon” atau dapat di artikan duit yang mengatur negara ini atau dengan duit semua dapat di beli”.
Seperti realita yang terjadi saat ini, dimana para koruptor bebas untuk keluar masuk penjara ataupun dapat menikmati fasilitas yang lebih dalam penjara dibandingkan orang lainnya, asalkan membayar sejumlah uang dalam jumlah tertentu kepada oknum Lembaga Permasyarakatan(LP). Ini menunjukan buruknya moral aparat penegak hukum dan juga buruknya sistem hukum yang ada di Indonesia. Perilaku korupsi tidak terjadi di pemerintah pusat saja melainkan telah merambah ke daerah-daerah baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, dan yang lebih ironis korupsi itu selalu dilakukan oleh Pejabat Publik dengan cara abuse of power[[1]]. Berbagai profesi seolah-olah berlomba melakukan korupsi dengan menggasak keuangan negara, para koruptor merasa tidak bersalah dan tidak takut terhadap “kutukan moral”[[2]].Dan cap buruk dari masyarakat.
Ruang lingkup korupsi mencakup institusi sosial, politik, ekonomi, budaya (pendidikan, agama dan sebagainya), pertahanan, keamanan, dengan rentang waktu yang panjang: masa lalu, masa kini dan masa depan yang berkaitan dengan fungsi integritas hukum dan stratifikasi hukum pada semua strata institusi sosial[[3]].
Hukum harus mampu menjangkau para koruptor yang berlindung dibalik kekuasaan, sebagai contoh seorang terindikasi melakukan suatu kejahatan korupsi namun di karenakan ia berasal dari kadar atau anggota  partai politik yang mana pada saat itu kekuasaan tertinggi( presiden ) berasal dari partai nya. Nah, hal seperti ini lah yang harus di hilangkan dari penegakan hukum” law enforcemnet “. Kalau tidak, masyarakat Indonesia bisa menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan kepada hukum itu sendiri. Seperti yang terjadi seperti saat masyarakat saat ini yang merasa bingung akan kinerja KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) dalam menangulangi kasus korupsi yang ada di indonesia. Disini juga di  butuhkan peran media komunikasi untuk memberikan informasi secara tuntas supaya masyarakat dapat memantau perkembangan kasus korupsi yang terjadi dimana dengan demikian akan mengembalikan rasa percaya akan penegakan hukum khusus nya penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Oleh sebab itu di perlukan penegakan hukum yang di konsep secara baik agar hukum itu berfungsi secara efektif dan dapat memberikan suatu efek jera kepada para koruptor yang melakukan tindakan korupsi khususnya di Indonesia.

b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah  Korupsi Yang Terjadi di Indonesia ?
2.      Bagaimanakah Penegakan  Hukum  Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di indonesia ?

c.       Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui  korupsi yang terjadi di Indonesia
2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana dalam pemberantasan korupsi di    indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Korupsi Yang Terjadi Di Indonesia
Korupsi bukan lah hal yang baru dalam kehidupan bangsa indonesia. Bangsa indonesia sejak dahulu sudah di biasakan dengan perilaku memberikan upeti kepada kerjaan sebagai ucapan terimaksih. Perilaku korupsi zaman Kerajaan Matram yang melahirkan Perang Diponegoro( 1825-1830 ) akibat tinginya pemungutan pajak dan korupsi pejabat kerajaan.[[4]] perilaku memberi upeti ini lah yang sekarang kebanyakan di tiru oleh rakyat indonesia. Sebagai contoh yang kecil yakni dalam pengurusan SIM( Surat Izin Megemudi) pengalaman pribadi saya saat mengurus SIM masih banyak saya jumpai tindakan yang menyimpang dari aparat negara tersebut, yakni proses dan prosedur yang cukup panjang dapat di persingkat hanya dengan memberikan sejumlah uang kepada aparat maka tidak perlu mengikuti prosedur ujian SIM orang tersebut akan langsung secara sah memiliki SIM, masih banyak contoh yang sering di jumpai dalam masalah budaya memberi upeti ( ucapan terimakasih ) yakni pengurusan paspor pengurusan KTP ( Kartu Tanda Penduduk ), Pengambilan Putusan PN sebagai bahan untuk penulisan skripsi Mahasiswa Hukum,dsb.
Di indonesia terdapat suatu lembaga yang memonitoring tindak pidana yakni indonesian coruption wathc  yang mengatakan bahwa kasus korupsi paling marak terjadi di Tahun 2013, dalam artian penangkapan para koruptor yang terjadi paling marak di tahun 2013. Sebagian besar koruptor yang di tangkap adalah para angota partai politik yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dan para wakil rakyat tersebut menyalahgunakan kekuasaannya. Faktor penyebab dari banyak nya koruptor yang berasal dari partai politik yakni; 1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu, 2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum, 3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat, 4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup, 5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
Terdapat banyak bendahara partai politik yang tersangkut korupsi, diantaranya seperti bendahara umum partai demokrat “ Nazarudin“. Terdapat banyak dana terlarang yang di pergunakan oleh partai politik dalam melaksanakan kampanye

B. Penegakan Hukum  Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Berbicara penegakan hukum ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan untuk menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, meskipun ada kebijakan publik di bidang hukum sebagimana dinyatakan oleh Thomas R. Dye, “ whatever goverments to do or not to do”.[[5]].
            Tindak pidana korupsi yang biasanya diikuti dengan kolusi dan nepotisme dapat dikatakan sebagai suatu “the white collar crime” sekaligus economic crime yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Kegiatan tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi kegiatan perekonomian dan pembangunan suatu negara yang pada gilirannya dapat menimbulkan dampak krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime.
Hal ini terjadi akibat tiadanya kesadaran dan kepatuhan hukum pejabat penyelenggara negara yang mengarah pada tindakan deviance (pembangkangan) terhadap nilai-nilai dan sikap hidup individu yang baik.[[6]] Nilai-nilai itu adalah berupa norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara diantaranya norma agama,kesopanan,kesusilaan,dan norma hukum. Norma tersebut sangat berpengaruh dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang terjadi.
Akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.[[7]] Korupsi sangat merugikan banyak orang, bukan saja merugikan negara tapi merugikan segenap bangsa dimana terdapat perampasan hak yang di lakukan oleh para koruptor demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.. Pemberantasan Korupsi menjadi masalah nasional yang harus dilakukan pemerintah sampai kapanpun guna dapat mewujudkan pemerintahan dan negara yang betul-betul bebas dari perilaku korupsi.
Korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak saja merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial (economic dan social right) masyarakat secara meluas.[[8]]. Kejahatan korupsi pada beberapa negara juga dianggap sebagai pelanggaran HAM yang menyangkut dengan kepentingan rakyat banyak (publik). Ini disebabkan, kejahatan korupsi dapat merusak sendi-sendi peradaban dan nama baik suatu bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan” (crime against humanity) yang harus memperoleh prioritas utama dalam pemberantasannya. Dalam hukum pidana Indonesia, delik korupsi termasuk dalam klasifikasi hukum pidana khusus yang diprioritaskan penanganannya oleh aparat penegak hukum ketimbang delik-delik yang bersifat umum.[[9]] Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.[[10]] Jika terdapat dua atau lebih perkara yang boleh oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan, maka penentu mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang disetiap proses peradilan.
Menurut Athol Noffitt, ia mengemukakan bahwa “sekali korupsi dilakukan apalagi bila dilakukan oleh pejabat-pejabat yang tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”.[[11]] Lebih lanjut ia mengatakan “tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa dari pada korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan garis belakang baik damai maupun perang”. Perilaku buruk pejabat tinggi akan mempengaruhi kuantitas korupsi  dan akan semakin sulit diberantas.Walaupun negara selalu berbenah diri dalam menghadapi kejahatan korupsi, namun selalu ada celah bagi  penyelenggara negara dan pejabat daerah untuk tetap melakukan korupsi yaitu  karena adanya peningkatan sumber-sumber kekayaan negara dan daerah yang selama ini memang memberikan banyak harapan bagi koruptor. Sumber keuangan negara dan daerah dimanfaatkan oleh mereka yang mengelolanya ataupun pejabat yang memberikan pelayanan publik untuk memperkaya diri  sendiri dan juga orang lainnya termasuk korporasi.
Inilah salah satu kelemahan yang bangsa Indonesia hadapi sekarang. Seiring dengan itu, Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, mengemukakan bahwa ada indikator dalam peningkatan aktifitas KKN selama ini. Indikator tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yakni sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya lembaga politik (partai politik, pemerintah (depdagri, Kementerian PAN, KPKPN) ataupun lembaga swadaya masyarakat) yang efektif dan mampu untuk mengontrol dengan ketat perilaku KKN para penyelenggara negara. Kedua, tidak adanya partisipasi partai politik yang signifikan dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya rakyat miskin, tokoh-tokoh masyarakat, baik di kota maupun desa untuk melakukan tekanan terhadap pemerintahan yang korup. Ketiga, tidak adanya lembaga hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dengan sanksi hukum yang betul-betul mempunyai kekuatan riil dapat menyadarkan dan menjerakan perilaku KKN para penyelenggara negara.[[12]]
Meskipun kejahatan korupsi sudah begitu parah dan masif, sehingga timbul istilah “korupsi sudah membudaya” dalam kehidupan suatu bangsa dengan tatanan hukum yang rapuh,[[13]] namun upaya penegakan hukum untuk memberantasnya seolah-olah mengalami kebuntuan. Bisa jadi disebabkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat merupakan pejabat penting negara yang mempunyai kekuatan besar dibelakangnya dan juga adanya kesulitan dalam pembuktian bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang, kelompok orang ataupun korporasi yang merugikan keuangan negara dan masyarakat.
Penerapan asas beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang dalam Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 memberikan pula kesempatan para tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah dengan mengemukakan bukti-bukti yang dimilikinya, sekurangnya kesulitan pembuktian di depan sidang pengadilan dapat meringankan tugas-tugas kejaksaan dalam upaya pembuktian kesalahan terdakwa. Efektivitasnya masih perlu dibuktikan dari sistem pembuktian yang baru diberlakukan dalam kasus-kasus mega korupsi yang belum tuntas sampai saat ini seperti Proyek Hambalang, Bank  Century, kasus Simulator SIM di tubuh polri dan lain sebagainya. Penyelesaian kasus korupsi harus di dahulukan penyikannya artinya penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan dibandingkan dengan tindak pidana bukan korupsi.[[14]] Apabila mega korupsi ini diselesaikan dengan baik akan menjadi contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak lagi tebang pilih dalam penerapan hukumnya.
Dikaitkan dengan perkembangan hukum pidana dan reformasi hukum, tidak hanya harus memperhatikan hak-hak para tersangka/terdakwa, akan tetapi juga harus memperhatikan hak-hak korban. Artinya, kerugian yang dialami oleh negara dan rakyat harus dilindungi dengan baik dalam rangka mencapai tujuan nasional, yaitu “masyarakat adil dan makmur”, maka pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.  Perilaku KKN pejabat publik sebagai elit penentu selama ini terbukti amat merugikan dalam pembangunan. Elit penentu yang mengemban citra ideal masyarakat akhirnya berubah menjadi kebencian masyarakat. Kini saatnya segenap kekuatan reformis berpacu untuk melawan korupsi, kolusi dan nepotisme.[[15]] Pemberantasan KKN harus sejalan dengan penegakan hukum yang tegas dan didukung pula dengan lembaga hukum yang kuat dan independen, tanpa itu, penegakan hukum sulit tercapai. Semua itu dimaksudkan agar kekuasaan yang diatur oleh hukum merupakan suatu kebebasan yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya, semuanya ditentukan oleh hukum.
Lembaga hukum yang khusus dibentuk untuk melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun namanya saja yang seringkali berubah. Karena lembaga itu hampir bisa dikatakan dalam pemberantasan korupsi mengalami kegagalan. Seperti masa orde lama, tercatat beberapa kali dibentuk badan pemberantasan korupsi yakni Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dibentuk dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan lembaga yang dikenal dengan nama Operasi Budhi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963. Serta Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang menggantikan Operasi Budhi. Pada masa orde baru, setidaknya ada empat lembaga yang dibebani tugas untuk melakukan pemberantasan korupsi, yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967. Karena dianggap tidak serius memberantas korupsi, maka dibentuklah Komitte Empat berdasarkan Keputusan Presiden  No. 12 Tahun 1970 Tanggal 31 Januari 1970. Kemudian dibentuk lagi Operasi Tertib (Opstib) berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977. Terakhir dihidupkannya kembali Tim Pemberantasan Korupsi “baru” pada tahun 1982 tanpa menerbitkan putusan presiden yang baru. Pada masa era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 yang mengamanahkan Pembentukan Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, maupun Lembaga Ombudsmen. Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 namun melalui judicial review akhirnya TGPTPK ini dibubarkan karena berbenturan dengan UU No. 31 Tahun 1999. Kemudian dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka tugas KPKPN melebur ke dalam KPK.[[16]]
Menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti dalam bukunya mengatakan, ada sepuluh langkah dalam upaya pencegahan merebaknya perilaku KKN secara konseptual, guna tercipta suatu pemerintahan yang bersih dan baik pada masa depan negeri ini. Langkah-langkah tersebut yaitu:
1. Adanya kesadaran hukum rakyat atau warga masyarakat berperan serta memikul tanggung jawab bersama terhadap masa depan bangsa dan negara, berupa pasrtisipasi politik dan kontrol sosial serta tidak bersikap apatis, acuh tak acuh dengan merebaknya KKN.
2. Menanamkan pada pejabat publik (legislatif, eksekutif yudikatif) dalam melaksanakan tugas negara sebagai amanah rakyat adanya aspirasi nasional dalam rangka memulihkan ekonomi bangsa, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran dan disiplin serta pengabdian pada bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok atau golongan.
3.  Para pemimpin dan pejabat negara memberikan teladan yang baik dengan mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab moral, sosial, dan hukum terhadap rakyat dan masyarakat daerahnya.
4. Adanya sanksi hukum yang berat dengan kekuatan yuridis oleh aparat penegak hukum untuk menindak/memberantas dan menghukum para pelaku KKN tanpa sikap diskriminatif.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah instansi bawahannya.
6. Sistem penerimaan pegawai pemerintah berdasarkan “achivement” atau keterampilan teknis dan bukan berdasarkan “ascription” atau kedekatan (kekerabatan) sehingga memberikan keluasan bagi berkembangnya kolusi dan nepotisme.
7.Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri nonpolitik yang profesional, terampil dan rajin demi kelancaran administrasi pemerintahan ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai dengan jaminan masa depan yang baik, sehingga berkurang kecende-rungan untuk melakukan KKN.
8. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, bermoral, dan bersih. Kompleksitas hierarki administratif pemerintahan harus disertai pula disiplin kerja yang tinggi, sedangkan penerimaan jabatan dan penge-lolaan pendapatan atau belanja keuangan negara/daerah harus didistri-busikan melalui norma-norma teknis dan transparan yang dapat dikontrol dan diketahui oleh rakyat.
9. Menciptakan sistem keuangan (budget) yang dikelola pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis dan moral tinggi yang diikuti dengan sistem kontrol efesien dan efektif. Selain itu, dalam menyelenggarakan sistem pemungutan pajak, bea, cukai, dan retribusi harus jelas dan efektif peruntukannya serta didukung dengan supervise yang ketat, baik ditingkat pusat maupun daerah.
10. Pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat negara harus dilakukan sebelum, selama dan seusai menjabat secara periodic dengan asas praduga tidak bersalah. Bagi kekayaan pejabat negara yang statusnya tidak jelas, tidak dilaporkan dan diduga kuat hasil KKN, maka harta tersebut dapat langsung disita oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.[[17]]
Dari pendapat diatas, yang terpenting dalam penanganan kasus korupsi adalah perilaku moral dari setiap individu baik yang akan berbuat maupun yang telah berbuat korupsi( koruptor). siapa saja bisa terkena imbas dari perbuatan buruk tersebut bisa negara dan masyarakat yang tidak tau menau. Oleh karenanya kesadaran hukum, kepatuhan hokum,penegakan hukum yang benar dan moral merupakan hal esensi atau hal yang sangat berpengaruh dalam penanganan kasus korupsi. hukum yang buruk akan menjadi baik bila aparat penegak hukum memiliki moral yang baik dan hukum yang baik akan menjadi buruk bila aparat penegak hukum tidak memiliki moral yang baik. Moral itu kalau saya artikan yakni berbicara masalah benar dan salah (wright and wrong ) dan juga mengenai kebaikan dan keburukan ( goodness and badness )


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi merupakan kejahatan transasional yang dikategorikan ke dalam extra ordinary crime, yang dibutuhkan penanganan secara cepat sehingga jika terbukti pelaku bersalah, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana dan di masukan kedalam penjara serta mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsikan demi melindungi negara dan warga masyarakat. Tiga komponen penting dalam penegakan hukum yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Dalam melakukan tugasnya, masing-masing harus profesional dan tidak mudah terbujuk rayu akan janji manis koruptor yang justru akan merugikan diri mereka sendiri.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1. Penanganan korupsi jangan saja bertolak dari penanganan penal melainkan juga harus dari non penal, karena kejahatan korupsi juga berkaitan dengan moral pelaku yang buruk.
2. KPK dalam menangani kasus korupsi harus dengan maksimal karna ini merupakan kejahatan yang bukan saja merugikan negara namun merugikan masyarakat banyak,dengan kata lain KPK harus lebih banyak mengungkap kasus korupsi, bukan hanya mengungkap tapi terdapat penyelesaian perkara yang jelas dengan menghukum terpidana korupsi (Koruptor) dengan hukuman yang sesuai dengan tujuan dari pada pemidanaan yakni memberikan suatu momok yang menakutkan supaya tidak timbul koruptor-koruptor baru.

DAFTAR PUSTAKA
Adib Bahari, khotibul Usman. 2009. KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z. Cet. Pertama. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ongkoham, Tradisi dan Korupsi dalam Mocthar Lubis dan James. C. Scott(ed), Bunga Rampai Korupsi, ( Jakarta: LP3ES,1995)
R. Wiyono.2012. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Sinar Grafika.Jakarta.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Syed Hussein Alatas. 1986. Sosiologi Korupsi. LP3ES. Jakarta.
Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti. 2011. Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi). Cet. Pertama. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi








([1]) Diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, berangkat dari sinilah dapat di katakan suatu kekuasaan cenderung dapat menimbulkan korupsi “ power is corrupt “.
([2])Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi), Cet. Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 191.
([3])IGM. Nurdjana, Korupsi Dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 144.
([4]) Ongkoham, Tradisi dan Korupsi dalam Mocthar Lubis dan James. C. Scott(ed), Bunga Rampai Korupsi, ( Jakarta: LP3ES,1995). hlm. 121.
([5]) Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall., Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, hlm. 3. Defenisi yang di berikan oleh Dye ini meskipun cukup sederhana menunjukan betapa luasnya kebebasan bertindak( freis ermensen ) bagi pemerintah untuk memilih tindakan dan kebijakan yang tepat menyangkut kepentingan publik atau rakyat termaksud juga dalam hal penegakan hukum.
( [6] ) Robert B. Seidman, The State Law and Development, St. Martin Press, New York, 1978, hal. 99.
([7] ) Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal.  69.
( [8] ) Ibid.
( [9] ) Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 58.
( [10] ) Pasal 25 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
([11]) Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc. Cit.
( [12] ) Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal. 208
( [13] ) Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 87.
([14] ) R.Wiyono,S.H., Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal.165
( [15] ) Teguh Sulistia, Aria Zarnetti, Op. Cit., hal. 209.
( [16] ) Adib Bahari, khotibul Usman, KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z, Cet. Pertama, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal. 72-78.
( [17] ) Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal. 212-214.




 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar