ASPEK
YURIDIS HAK PAKAI DIATAS HAK MILIK
DOSEN
PENGAMPU
Yunusul
khairi Sh.Mkn
OLEH
:
PINUS
JULIANTO SINAGA
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM RIAU
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas selesainya Makalah Hukum Agraria mengenai “Aspek Yuridis Hak Pakai Diatas Hak Milik”. Ucapan terimakasih
tidak lupa pula penulis ucapkan kepada dosen pengampu ............. yang
bersedia memberikan bimbingan dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini dibuat berdasarkan beberapa referensi
buku dari beberapa pengarang buku mengenai Hukum Agraria dan Hak Atas Tanah.
Dalam makalah ini dijelaskan mengenai hak pakai dan hak milik
pekanbaru , desember 2012
penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGATAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
a)
Bagaimanakah Pemberian Hak Guna Bagunan atau
Hak Pakai atas Hak Milik ?
b)
Bagaimanakah Pendaftaran Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik ?
c)
Bagaimanakah Pembebanan Hak
Pakai atas Tanah Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh
Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing ?
d)
Apakah Tanah Hak Pakai Bankable?
C. Tujuan Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
BAB
IV PENUTUP
Kesimpulan
Saran
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tanah
merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Sepanjang hidup manusia
bahkan hingga berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, manusia tidak bisa
dipisahkan dengan tanah. Oleh karenanya, sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah
Nasional yang bersifat Komunalistik Religius, Bangsa Indonesia meyakini bahwa
seluruh tanah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia adalah Karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus kebersamaan. Hukum Tanah
Nasional kita diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA
mengenal hak atas tanah yang primer dan hak atas tanah yang sekunder. Ragam hak
atas tanah primer telah dikenal dan akrab dengan tugas kewenangan Notaris dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi di samping hak atas tanah yang
primer, yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai, UUPA juga menetapkan hak atas tanah yang sekunder yang didasarkan pada
perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang
bersangkutan. Hak atas tanah sekunder tersebut di antaranya adalah Hak Guna
Bangunan (atas tanah Hak Milik) dan Hak Pakai (atas tanah Hak Milik).
Pembebanan
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik ini dalam praktek masih jarang
ditemui. Akan tetapi di beberapa daerah, seperti di Bali dan Lombok, hal
tersebut
Hak milik dapat diartikan sebagai hak yang dapat
diwariskan secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon
haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan sebagai hak
yang terkuat diantara hak-hak yang ada dalam pasal 570 KUHPerdata, hak milik
diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya,
asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan umum yang
ditetapkan oleh suatu kekuasaan.[1]
Dalam undang-undang pokok agraria, pengertian hak
milik seperti yang dirumuskan dalam pasal 20 UUPA.[2] Hak milik adalah hak yang ”terkuat dan terpenuhi
” yang dipunyai orang atas tanah. Kata-kata “terkuat dan terpenuhi” itu
bermaksud untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
dan lain-lain yaitu untuk menunjukkan diantara hak-hak atas tanah yang dapat
dipunyai orang hak miliklah yang ter (artinya paling ) kuat dan terpenuhi.
Hak Pakai Adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya.Objek hak pakai : tanah untuk pertanian dan bukan
pertanian, tanah Negara, tanah hak pengelolaan.Subjek Hak pakai adalah warga
Negara Indonesia, warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan
hukum Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di
Indonesia, perwakilan asing serta badan-badan pemerintah. Janka waktu hak pakai
maksimum 25 tahun dan dapat diperpanjang maksimum 20 tahun lagi.[3]
BAB
II
TINJAUAN
UMUM
A. DEFINISI HUKUM AGRARIA
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2. seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia;
3. seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5. sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
2. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi masing-masing;
4. mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
6. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA
Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi-sendi Hukum Agraria, membagi kronologi sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:
Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula;
Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu yang dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada;
Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni beternak meskipun system pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan secara nomaden pula.
Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam tahap inilah manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu sangat sederhana dan sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapinya saja.
Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia manusia talah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam taraf,pola dan sistim yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai lahir meskipun baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitif, masih sangat jauh dari memadai.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini.
Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat diklasifikasikan menjadi 2 fase, yaitu;
1. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;
Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak ulayat.
Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak eigendom (hak milik), hak opsal( hak guna pakai), hak erfpacht ( hak guna usaha), hak gebruik (hak guna bangunan) dan sebagainya.
2. Fase Kedua
Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang melahirkan hak atas tanah seperti:
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya.
C. SUMBER HUKUM AGRARIA
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;
1. Perundang-undangan;
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
2. Hukum Kebiasaan
Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;
2. seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia;
3. seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;
4. sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industry, perrtambangan dan sejenisnya;
5. sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.
Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:
1. menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;
2. mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;
3. mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi masing-masing;
4. mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;
5. memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang bersangkutan;
6. menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.
B. SEJARAH HUKUM AGRARIA
Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi-sendi Hukum Agraria, membagi kronologi sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:
Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula;
Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu yang dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada;
Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni beternak meskipun system pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan secara nomaden pula.
Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam tahap inilah manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu sangat sederhana dan sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapinya saja.
Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia manusia talah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam taraf,pola dan sistim yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.
Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai lahir meskipun baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitif, masih sangat jauh dari memadai.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini.
Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat diklasifikasikan menjadi 2 fase, yaitu;
1. Fase Pertama
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;
Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak ulayat.
Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak eigendom (hak milik), hak opsal( hak guna pakai), hak erfpacht ( hak guna usaha), hak gebruik (hak guna bangunan) dan sebagainya.
2. Fase Kedua
Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang melahirkan hak atas tanah seperti:
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya.
C. SUMBER HUKUM AGRARIA
Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;
1. Perundang-undangan;
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
2. Hukum Kebiasaan
Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.
KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH
DAN SERTIFIKASINYA
Oleh: Heri Setiawan/09360023
Kepemilikan
hak atas tanah merupakan hak dasar yang juga merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Pencabutan kepemilikan hak atas tanah oleh presiden dilakukan untuk
kepentingan umum. Perlindungan subjek hak atas dalam menghadapi pencabutan hak
didasarkan kepada pemahaman pengertian kepentingan umum. Kepentingan umum
merupakan suatu yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis, tetapi menjadi
sangat kompleks ketika diimplementasika
Kebijakan publik telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai kewenangan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (untuk selanjutnya ditulis Perpres No. Tahun 2005). Menurut catatan Kompas, ketentuan pencabutan hak atas tanah ini ternyata tidak jauh beda dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Keoentingan Umum, yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Baik Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maupun Perpres No. 36 Tahun 2001, sama-sama merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada diatasnya (Kompas, 8 Mei 2005).
Selanjutnya dikatakan pada masa reformasi saat ini harus ada revisi terhadap ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dengan memberikan jaminan terhadap kepemilikan tanah. Dengan revisi tersebut, bukan berarti hak milik atas tanah tidak bisa dicabut, tetapi prosesnya tidak semudah di zaman Orde Baru, karena harus melewati aturan yang ketat (Kompas, 9 Mei 2005). Dalam masa refomasi ini banyak masyarakat layak terkejut dengan dikeluarkannya kebijakan publik yang dituangkan dalam Perpres No. 36 Tahun 2005. Keterkejutan itu beralasan, karena kita semua tidak mengira bila pemerintah mengeluarkan peraturan di tengah harapan berjalannya proses demokrasi dan penguatan hak-hak rakyat sipil. Lahirnya Perpres No. 36 Tahun 2005, mengingatkan orang pada praktek-praktek pemerintahan Orde Baru dalam mengambil paksa tanah-tanah rakyat baik yang di kota maupun di desa dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga menimbulkan penggusuran dan konflik agraria.
A. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Tanah
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut (Rahardjo, 2000 : 53).
Dengan demikian, hak itu merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sehingga memungkinkan seseorang menunaikan kepentingan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Allen : "The legally guarenteds power to realisean interst". Oleh karena itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain :
a. hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemilik hak. (Ali, 1996:242)
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal teori atau ajaran untuk menjelaskan keberadaan hak, antara lain :
a. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Salah satu penganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat bahwa hak itu suatu kepentinagn yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi.
b. Wilmacht Theorie (teori kehendak), yaitu adalah kehendak yang dilengkapi oleh kehendak. Salah satu penganutnya adalah Bernhard Winscheid, yang menyatakan bahwa hak itu suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak seseorang dapat mempunayai rumah, mobil, tanah dan sebagainya.
c. Teori fungsi sosial yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang menyatakan bahwa tidak ada seseorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada satu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat (Mas, 2004:32 - 33).
Sedangkan dilihat dari sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu (Kusumaatmadja dan Sidharta, 2000 : 90).
B. Sertifikasi Tanah
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Sertifikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Kebijakan publik telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai kewenangan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum dengan telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (untuk selanjutnya ditulis Perpres No. Tahun 2005). Menurut catatan Kompas, ketentuan pencabutan hak atas tanah ini ternyata tidak jauh beda dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Keoentingan Umum, yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Baik Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 maupun Perpres No. 36 Tahun 2001, sama-sama merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada diatasnya (Kompas, 8 Mei 2005).
Selanjutnya dikatakan pada masa reformasi saat ini harus ada revisi terhadap ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dengan memberikan jaminan terhadap kepemilikan tanah. Dengan revisi tersebut, bukan berarti hak milik atas tanah tidak bisa dicabut, tetapi prosesnya tidak semudah di zaman Orde Baru, karena harus melewati aturan yang ketat (Kompas, 9 Mei 2005). Dalam masa refomasi ini banyak masyarakat layak terkejut dengan dikeluarkannya kebijakan publik yang dituangkan dalam Perpres No. 36 Tahun 2005. Keterkejutan itu beralasan, karena kita semua tidak mengira bila pemerintah mengeluarkan peraturan di tengah harapan berjalannya proses demokrasi dan penguatan hak-hak rakyat sipil. Lahirnya Perpres No. 36 Tahun 2005, mengingatkan orang pada praktek-praktek pemerintahan Orde Baru dalam mengambil paksa tanah-tanah rakyat baik yang di kota maupun di desa dengan mengatasnamakan pembangunan, sehingga menimbulkan penggusuran dan konflik agraria.
A. Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Tanah
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut (Rahardjo, 2000 : 53).
Dengan demikian, hak itu merupakan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sehingga memungkinkan seseorang menunaikan kepentingan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Allen : "The legally guarenteds power to realisean interst". Oleh karena itu implikasi dari definisi tentang hak tersebut antara lain :
a. hak adalah suatu kekuasaan, yaitu suatu kemampuan untuk memodifikasi keadaan.
b. Hak merupakan jaminan yang diberikan oleh hukum.
c. Penggunaan hak menghasilkan suatu keadaan yang berkaitan langsung dengan kepentingan pemilik hak. (Ali, 1996:242)
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal teori atau ajaran untuk menjelaskan keberadaan hak, antara lain :
a. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Salah satu penganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat bahwa hak itu suatu kepentinagn yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi.
b. Wilmacht Theorie (teori kehendak), yaitu adalah kehendak yang dilengkapi oleh kehendak. Salah satu penganutnya adalah Bernhard Winscheid, yang menyatakan bahwa hak itu suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak seseorang dapat mempunayai rumah, mobil, tanah dan sebagainya.
c. Teori fungsi sosial yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang menyatakan bahwa tidak ada seseorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada satu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat (Mas, 2004:32 - 33).
Sedangkan dilihat dari sudut kewenangan, maka pengertian hak berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki kewenang-wenangan untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu (Kusumaatmadja dan Sidharta, 2000 : 90).
B. Sertifikasi Tanah
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Sertifikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
HAK-HAK TANAH BAGI WARGA NEGARA ASING
OLEH: AJIE MUARIF M.A./09360024
Penulis memilih permasalahan EKSISTENSI WNA (WARGA NEGARA ASING) TERHADAP KEPEMILIKAN LAHAN DAN BANGUNAN DI SEKITAR KAWASAN WISATA BUKIT LAWANG KEC. BOHOROK KAB. LANGKAT, dan mencoba menghubungkannya dengan Ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang berkenaan dengan Ketentuan Perundangan Agraria Nasional Indonesia UU RI No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Ketentuan Agraria Nasional Indonesia, PP RI No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah, dan PP RI No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, Lembar Negara No : 59, Tambahan Lembaran Negara No : 3644, serta Permeneg. Agraria/ Kep. Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Kepemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Bagi Orang Asing di Indonesia, dan lain-lain.
UUPA “Undang-undang Pokok Agraria” (No. 5 Tahun 1960) sebagai Peraturan Perundangan salah satu karya terbaik anak bangsa Indonesia, yang telah disepakati dan berhasil di Undangkan pertama sekali pada tanggal 24 September Tahun 1960 dan telah mengawal serta mengakomodasi berbagai kepentingan yang sangat sesuai dengan Jiwa Bangsa dan Semangat Kebangsaan (nasionalis/ sosialis) Indonesia, Perlindungan Terhadap BAR (Bumi, Air, dan Ruang Angkasa) di seluruh wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), jaminan terhadap kepentingan umum/ sosial yang mengutamakan kepentingan Nasional, perlindungan terhadap Petani dan golongan ekonomi lemah lainnya.
Dapat kita lihat saat ini UUPA sedang mengalami tekanan dan cobaan yang sangat keras, terbukti dengan munculnya wacana-wacana untuk merubah/ mengganti UUPA dengan Peraturan Perundang-undangan sejenis yang baru, dengan dalih penyesuaian dan pemenuhan terhadap kebutuhan serta tuntutan zaman, dimana UUPA dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan serta kebutuhan terhadap kemajuan maupun pembangunan yang berwawasan global. Argumentasi berikutnya yaitu, UUPA semenjak di Undangkan pada Tahun 1960 sampai saat ini belum berhasil mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, dan argumen-argumen tajam lainnya.
Apabila UUPA dirubah maka tentu akan merembet kepada perubahan-perubahan aturan Perundang-undangan lainnya, baik itu aturan Perundangan yang status/ tingkatan hierakhinya sama, yaitu sama-sama Undang-undang, maupun aturan-aturan pelaksana (organik) dari UUPA itu sendiri, seperti PP (Peraturan Pemerintah RI), KepPeres (Keputusan Presiden RI), KepMen (Keputusan Menteri Negara RI), Peraturan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional RI), Perda (Peraturan Daerah), dan lain-lain.
Dalam pandangan banyak ahli, segala tekanan dan permasalahan di atas akan bertambah semakin berat dan kompleks ke depan, alasannya menurut analisis mereka, hanya sedikit orang (ahli/ ilmuan) yang benar-benar mengetahui tentang esensi UUPA ini, yang kemudian mau dan mampu, menyampaikan secara baik dan benar kepada masyarakat secara luas, kemudian juga dapat menjelaskan kaitan antara kesejahteraan yang belum dicapai oleh bangsa Indonesia dengan amanat UUD RI 1945 Pasal 33 ayat (3) khususnya UUPA sebagai penjabarannya, dan dapat pula menyampaikan serta menjelaskan secara tepat dan benar bagaimana sebenarnya kedudukan pemahaman maupun kedudukan hukum dari hal-hal yang belum dicapai tersebut. Telah di tegaskan bahwa, UUPA digali dari prinsif-prinsif hukum Adat dan hukum Agama (bagian berpendapat huruf : A dan Pasal 5, UUPA yang berlaku di Indonesia dengan mengutamakan) kepentingan Nasional dan sifat-sifat kebersamaan yang sangat khas yaitu “sosialis nasionalis” Indonesia.
Akar dari semua permasalahan terhadap lambannya kemajuan dan proses mensejahterakan masyarakat Indonesia, lebih kepada penegakan aturan Perundang-undangan yang sebenarnya telah ada selama ini, karena dinilai belum benar-benar konsisten di laksanakan oleh para pemangku kekuasaan (steak holder) saat ini, khususnya para aparat penegak hukum, disebabkan karena faktor tingginya tingkat pertentangan kepentingan antar para oknum Pejabat maupun para penyelenggara Negara, adanya praktik KKN/ Pungli, maupun ketidak sefahaman antar para Pejabat tersebut tentang esensi dan tugas yang diembannya, kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat luas yang juga masih tergolong sangat rendah, dan penyebab-penyebab kompleks lainnya.
Sejalan dengan argumentasi di atas, Penulis ingin mengkhususkan penelitian ini kepada Indikasi kepemilikan maupun penguasaan lahan dan bangunan oleh Orang Asing yang ada di Indonesia, khususnya di sekitar kawasan objek wisata Bukit Lawang Kec. Bohorok Kab. Langkat Sumatera Utara, yang menurut pengamatan Penulis daerah ini merupakan salah satu daerah tujuan wisata favorit di Sumatera Utara setelah Danau Toba (Lake Toba) dan Berastagi (Kab. Karo) yang paling banyak didatangi oleh Orang Asing karena kekhasannya.
NESCO dan WWF (World Wild Foundation).
Karena faktor keasrian alamnya Bukit Lawang juga cukup diminati oleh para wisatawan lokal maupun asing, yaitu : terdapat permandian alam dengan tersediannya fasilitas ban, arung jeram dan panjat tebing, Treaking, yang sangat cocok untuk kegiatan pencinta alam, flaying fox, dan lain-lain. Sedangkan bagi para wisatawan asing pada umumnya datang ke Bukit Lawang untuk tinggal/ berada/ menetap dengan jangka waktu yang relatif lama (rata-rata sekitar 1-6 bulan), dalam kepentingan liburan, penelitian, pengamatan, dan lain-lain.
Sesungguhnya UUPA pada Pasal 9 telah menegaskan bahwa hanya WNI (Warga Negara Indonesia) sajalah yang memiliki hubungan sepenuhnya dengan BAR (Bumi, Air, dan Ruang Angkasa) di dalam wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) termasuk penilaian pelaksanaan terhadap PP RI 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal/ Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia dengan aturan pelaksananya yaitu Permeneg. Agraria/ Kep. Kepala BPN Pusat No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Bagi Orang Asing.
Penjelasan Pasal 9 UUPA tersebut, juga biasa disebut dengan Prinsif/ Asas Nasionalitas, yaitu tidak semua orang bisa mempunyai Hak Milik atas tanah di wilayah Indonesia, artinya apabila ada Orang Asing (WNA) memiliki lahan dan/ atau bangunan atas dasar Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU) secara langsung, maka tentu menyalahi Peraturan Perundang-undangan.
ASAS ASAS HUKUM PERTANAHAN
OLEH: SOLIKHIN/09360025
A. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 1 ayat (2) UUPA : Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan YME bagi bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
B. Asas Persatuan Indonesia
Pasal 9 ayat (1) UUPA : Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa
Catatan : WNA hanya dapat memperoleh Hak Pakai.
C. Asas Demokrasi dan Kerakyatan
Pasal 9 ayat (2) UUPA : Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Catatan: dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga negara pribumi dan non-pribumi dan antara laki-laki dan perempuan.
D. Asas Musyawarah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah. Proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
E. Asas Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Pasal 10 UUPA : Kewajiban untuk mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang dipunyai seseorang atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Penjelasan Umum II Angka 7 : mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita, untuk sementara waktu kiranya masih dimungkinkan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya; misalnya melalui sewa-beli, bagi-hasil, gadai dan sebagainya. Namun demikian segala sesuatunya harus diselenggarakan dengan mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat, tidak boleh diadakan perjanjian atau kesepakatan atas dasar free-fight, harus dicegah cara-cara pemerasan (“exploitation del’homme par l’homme”).
F. Asas Keadilan Sosial
Pasal 11, 13, 15, dan pasal-pasal yang mengatur landreform (Pasal 7, 10, 17, 53) UUPA. Penjelasan pasal 11 : ... harus diperhatikan adanya perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Golongan ekonomis lemah tersebut, bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Demikian pula sebaliknya.
G. Sifat Komunalistik Religius
Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan, jangan mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 7 : Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
diperkenankan.
H. Asas Pemisahan Horizontal
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Namun dalam praktek dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, aasalkan bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan tanaman merupakan tanaman keras; bangunan dan tanaman keduanya milik si empunya tanah; maksud demikian secara tegas disebutkan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
I. Asas Spesialitas
Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada di lokasi tanahnya.
J. Asas Publitas
Bahwa setiap orang dapat mengetahui sesuatu bidang tanah itu milik siapa, seberapa luasnya, dan apakah ada beban di atasnya.
K. Asas Negatif
Bahwa pemilikan suatu bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang tidak berarti mutlak adanya, sebab dapat saja dipersoalkan siapa pemiliknya melalui Pengadilan.
Pasal 1 ayat (2) UUPA : Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan YME bagi bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
B. Asas Persatuan Indonesia
Pasal 9 ayat (1) UUPA : Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa
Catatan : WNA hanya dapat memperoleh Hak Pakai.
C. Asas Demokrasi dan Kerakyatan
Pasal 9 ayat (2) UUPA : Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Catatan: dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga negara pribumi dan non-pribumi dan antara laki-laki dan perempuan.
D. Asas Musyawarah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah. Proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
E. Asas Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Pasal 10 UUPA : Kewajiban untuk mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian yang dipunyai seseorang atau badan hukum harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Penjelasan Umum II Angka 7 : mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita, untuk sementara waktu kiranya masih dimungkinkan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya; misalnya melalui sewa-beli, bagi-hasil, gadai dan sebagainya. Namun demikian segala sesuatunya harus diselenggarakan dengan mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat, tidak boleh diadakan perjanjian atau kesepakatan atas dasar free-fight, harus dicegah cara-cara pemerasan (“exploitation del’homme par l’homme”).
F. Asas Keadilan Sosial
Pasal 11, 13, 15, dan pasal-pasal yang mengatur landreform (Pasal 7, 10, 17, 53) UUPA. Penjelasan pasal 11 : ... harus diperhatikan adanya perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Golongan ekonomis lemah tersebut, bisa warga negara asli maupun keturunan asing. Demikian pula sebaliknya.
G. Sifat Komunalistik Religius
Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan, jangan mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 7 : Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
diperkenankan.
H. Asas Pemisahan Horizontal
Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Namun dalam praktek dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, aasalkan bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan tanaman merupakan tanaman keras; bangunan dan tanaman keduanya milik si empunya tanah; maksud demikian secara tegas disebutkan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
I. Asas Spesialitas
Bahwa tanah yang didaftarkan harus jelas-jelas diketahui dan nyata ada di lokasi tanahnya.
J. Asas Publitas
Bahwa setiap orang dapat mengetahui sesuatu bidang tanah itu milik siapa, seberapa luasnya, dan apakah ada beban di atasnya.
K. Asas Negatif
Bahwa pemilikan suatu bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang tidak berarti mutlak adanya, sebab dapat saja dipersoalkan siapa pemiliknya melalui Pengadilan.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Proses
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali dengan pembuatan perjanjian antara pemilik
tanah dengan calon pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Perjanjian
tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA haruslah berbentuk
otentik dan dituangkan dalam akta PPAT
yang berjudul: Akta Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997), sebelum melaksanakan
pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan
hak atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek keabsahan dari
sertipikat Hak Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.
Oleh karena
perbuatan hukum pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak Penghasilan (PPh)
pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak atau Tanah
dan Bangunan (BPHTB), maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-pajak
dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan terhadap
seluruh tanah Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati
para pihak secara tegas dalam Akta PPAT.
Akta Pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut memuat syarat-syarat
yang disepati oleh para pihak, yakni :
- Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996) menetapkan
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama
30 tahun. Sedangkan Hak Pakai
atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang, akan tetapi
atas kesepakatan antara para pihak, pembebanan hak tersebut dapat diperbaharui dengan pembuatan
akta PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.
Permasalahannya,
dengan jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang, apakah pemberian Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik menguntungkan bagi para
investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?
Bandingkan
dengan jangka waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah negara
dan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat
diperpanjang dan diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan penanaman
modal, Pasal 28 juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan
perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan
sekaligus dengan membayar uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali
mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang pemasukan
telah dibayar sekaligus, untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi. Hal ini berarti investor
dapat memperoleh jaminan kepastian hukum atas jangka waktu penggunaan tanah Hak
Guna Bangunan selama 80 tahun dan untuk tanah Hak Pakai selama 70 tahun
dengan pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.
- Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak kepada pemegang hak yang bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut.
- Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani Hak Milik yang bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau dialihkan oleh pemegang Hak Milik kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat melaksanakan haknya sampai jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.
- Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda batas pada tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan tidak boleh membangun bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak.
- Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendirian bangunan dan rencana tata ruang wilayah serta wajib memiliki ijin-ijin yang disyaratkan.
- Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku menjadi tanggung jawab pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang bersangkutan.
- Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara dan mengelola bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya, dan apabila ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan memberi kuasa kepada pemegang Hak Milik untuk mengelola dan memeliharanya hingga jangka waktu pemberian haknya berakhir.
- Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperkenankan menjual dan/atau dengan cara apapun mengalihkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
- Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak diperkenankan untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik.
- Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) termasuk obyek hak tanggungan, namun karena hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya lebih lanjut, sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
- Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib :
1. Mengosongkan bangunan yang ada di
atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kepada
pemegang Hak Milik berikut bangunan dan segala sesuatu yang berdiri dan
tertanam di atas bidang tanah tersebut, tanpa pembayaran ganti rugi berupa
apapun.
2. Membongkar bangunan yang ada di atas
tanah Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan menyerahkannya kembali
kepada pemegang Hak Milik seperti keadaan semula.
11. Bahwa
mulai hari ditandatanganinya akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas
tanah Hak Milik tersebut, segala keuntungan yang didapat dari, dan segala
kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut menjadi hak/beban pemegang Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai.
12.
Untuk itu pemegang Hak Milik menjamin bahwa obyek pemberian hak tersebut tidak
tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai
jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertipikat dan bebas dari
beban-beban lainnya yang berupa apapun.
Akta
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut wajib didaftarkan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
B. Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik
Pendaftaran
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan pada Kantor
Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
- Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
- Sertipikat Hak Milik;
- Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di hadapan PPAT yang berwenang;
- Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai;
- Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
- Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam hal bea tersebut terhutang;
- Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut terhutang.
Pendaftaran
pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat Hak Milik yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat
Hak Milik dikembalikan kepada pemegang Hak Milik. Sedangkan untuk Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku Tanah dan Surat Ukur tersendiri dan
kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diterbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya
disebutkan asal sertipikat Hak Milik.
C.Pembebanan Hak Pakai atas Tanah
Hak Milik Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing
dan Badan Hukum Asing
Pada
pertengahan tahun 1996, tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (untuk selanjutnya
disebut PP 41 Tahun 1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku, peraturan
tersebut dirasa belum mampu memacu minat orang asing untuk memiliki properti di
Indonesia.
Pemerintah
saat ini tengah gencar melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi di bidang
penanaman modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran negara berkembang yang
mempunyai daya tarik bagi para investor, terutama investor asing.
Dengan
masuknya investor asing ke Indonesia, maka banyak warga negara asing yang
bekerja di Indonesia. Di samping itu dengan telah diberlakukannya Peraturan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Permohonan
dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari 2010 dan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman
Modal pada tanggal 25 Mei 2010, maka akan semakin banyak investor asing yang
membutuhkan tanah dan properti untuk kegiatan proyek usahanya.
Sehubungan
dengan hal tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah menuntaskan Rancangan
Peraturan Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk selanjutnya disebut
RPP). RPP ini diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga lokal,
meningkatkan arus wisatawan, serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia di
luar negeri.
Hingga
makalah ini dibuat, RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena masih menunggu
disetujuinya amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Oleh
karenanya pembahasan dalam makalah ini masih mengacu pada PP Nomor 41 Tahun
1996, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
(selanjutnya disebut PMNA/Ka. BPN 7 Tahun 1996) dan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (untuk selanjutnya disebut PMNA/Ka.
BPN 8 Tahun 1996) dikaitkan dengan RPP yang saat ini sedang digodog.
Pemilikan rumah tempat tinggal atau
hunian oleh orang asing dapat dilakukan dengan cara :
- Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk tanah dan bangunan yang besangkutan sesuai ketentuan yang berlaku;
- Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Negara dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Bangunan;
- Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik) berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan;
- Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik) dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
- Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan;
- Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan;
- Memperoleh Hak Sewa untuk Bangunan (HSUB).
Sekalipun
UUPA mengatur HSUB dalam Pasal 44 dan 45, namun hingga saat ini belum ada
satupun peraturan pelaksana yang mengatur hak tersebut. Hal ini berpotensi
besar terhadap timbulnya penyelundupan hukum.
HSUB adalah
Hak Pakai yang mempunyai sifat khusus. Seperti halnya Hak Pakai, subyek HSUB
adalah warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia. HSUB adalah hak yang diberikan kepada orang/badan hukum untuk
mendirikan bangunan di atas tanah Hak Milik kepunyaan orang lain yang
diserahkan dalam kondisi kosong, dengan pembayaran sejumlah uang kepada
pemegang Hak Milik. Pemberian HSUB dibuktikan dengan akta sewa tanah yang
dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. Hak ini tidak termasuk hak atas tanah yang
wajib didaftarkan, tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan dan hanya dapat beralih dengan persetujuan pemegang Hak Milik.
RPP
pengganti PP 41 Tahun 1996 mengatur pula HSUB. Hanya dalam RPP tersebut HSUB dapat
diberikan di atas tanah Hak Milik maupun di atas tanah Hak Pengelolaan. Untuk
melindungi pemberi Hak Sewa di atas tanah Hak Milik, jangka waktu pemberian hak
sewa disesuiakan dengan masa konstruksi bangunan yang ditetapkan oleh instansi
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dan paling lama
50 (lima puluh) tahun.Dalam hal masa konstruksi lebih dari 50 (lima puluh)
tahun, maka dapat diperbaharui haknya 1 (satu) kali, dengan jangka waktu paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan jangka waktu pemberian Hak Sewa di
atas tanah Hak Pengelolaan paling lama 75 (tujuh puluh lima) tahun dan tidak
dapat diperpanjang dan diperbaharui.
- Membeli Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara, dengan membayar BPHTB untuk tanah dan bangunan.
Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik untuk orang asing diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b PP 41 Tahun 1996
juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a PMNA/Ka. BPN 7 Tahun 1996. Pembebanan
tersebut didasarkan pada perjanjian
tertulis antara orang asing yang bersangkutan dengan pemegang Hak Milik,
yang dibuat dengan Akta PPAT.
Perjanjian
tersebut dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak boleh lebih
lama dari 25 (dua puluh lima) tahun. Jangka waktu tersebut tidak bisa diperpanjang. Sepanjang
orang asing yang bersangkutan masih berkedudukan di Indonesia, jangka waktu Hak
Pakai dapat diperbaharui untuk
jangka waktu tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun, yang dibuat atas dasar
kesepakatan dan dituangkan dalam perjanjian yang baru.
Apabila
orang asing tersebut sudah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, maka dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah
dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Dalam hal lewat
jangka waktu tersebut, hak atas tanah berikut rumah tersebut belum dilepaskan
atau dialihkan kepada pihak lain, maka rumah tersebut menjadi milik pemegang
Hak Milik.
D. Tanah Hak Pakai Bankable
Sebidang tanah dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
- Syarat Umum :
1)
Tanah yang bersangkutan mempunyai nilai ekonomis;
2)
Dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada pihak lain;
- Syarat Khusus :
1)
Tanah tersebut wajib didaftar;
2)
Ditunjuk oleh Undang-Undang;
UU Hak
Tanggungan menetapkan Hak Pakai sebagai salah satu obyek Hak Tanggungan, tetapi
apakah semua tanah Hak Pakai bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan ?
Hak Pakai
dapat dibedakan menjadi Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan dan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
a. Hak
Pakai atas Tanah Negara
UU Hak
Tanggungan menetapkan Hak Pakai atas
tanah Negara sebagai salah satu hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan.
Namun tidak
semua tanah Hak Pakai atas tanah Negara dapat dijaminkan. Hanya yang memenuhi
syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diuraikan di atas yang dapat
dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan. Oleh karena itu, tanah-tanah Hak
Pakai yang diberikan kepada Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-Badan
Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing, walaupun wajib didaftar,
namun karena menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, maka bukan
merupakan obyek hak tanggungan.
Dalam
praktek, Bank kadangkala “enggan” menerima tanah Hak Pakai atas tanah Negara
sebagai jaminan kredit, oleh karena Pasal 43 UUPA menetapkan Hak Pakai atas
tanah Negara hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin dari pejabat yang berwenang.
Ketentuan
tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 98 ayat (1) PMNA/Ka. BPN 3 Tahun 1997
yang menetapkan bahwa setiap pemindahan dan pembebanan Hak Pakai atas tanah
Negara memerlukan Ijin Pemindahan Hak.
Ijin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta yang bersangkutan dibuat.
b. Hak
Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai
atas tanah Hak Pengelolaan tidak diatur dalam UU Hak Tanggungan. Oleh karenanya tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan.
c. Hak
Pakai atas tanah Hak Milik
Pembebanan
Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas
tanah Hak Milik, menurut pasal 4 ayat (3) UU Hak Tanggungan akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam
Penjelasan Umum angka 5 UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Pakai atas tanah
Hak Milik tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena tidak wajib didaftar dan
sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Tetapi mengingat perkembangan kebutuhan
masyarakat dan pembangunan di kemudian hari, UU Hak Tangggungan membuka
kemungkinan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat ditunjuk sebagai obyek Hak
Tanggungan, jika telah dipenuhi persyaratan tersebut di atas.
Selanjutnya,
PP 40 Tahun 1996 dalam Pasal 54 ayat (10) mengatur “pengalihan Hak Pakai atas
tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak
Milik yang bersangkutan”. Dengan demikian, maka berdasarkan PP tersebut, Hak
Pakai atas tanah Hak Milik bisa
dipindahtangankan, asal mendapat persetujuan dari pemegang Hak Milik.
Sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah,
pembebanan Hak Pakai atas tanah Hak Milik wajib didaftar selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal
ditandatanganinya Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik (pasal 44
juncto pasal 40).
Sekalipun
syarat umum dan syarat khusus jaminan telah terpenuhi, namun hingga saat ini belum ada PP yang mengatur hal
tersebut. Oleh sebab itu Hak Pakai atas tanah Hak Milik belum dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.
BAB III
PENUTUP
UUPA
menetapkan hanya ada 2 hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh warga Negara
asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia, yakni Hak Pakai (pasal 42) dan Hak Sewa untuk Bangunan
(pasal 45). Sedangkan Undang-Undang Rumah Susun menetapkan Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara yang
dapat dimiliki asing.
Oleh
karenanya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan
Presiden, Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur
pemilikan rumah tempat tinggal dan hunian untuk orang asing harus mengacu pada
ketentuan UUPA dan Undang-Undang Rumah Susun.
Pembebanan
Hak Pakai atas tanah Hak Milik merupakan salah satu alternatif pemberian hak atas
tanah kepada orang asing, di samping Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Sewa
untuk Bangunan serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Untuk
menghindari terjadinya penyelundupan hukum terhadap pemilikan rumah oleh warga
Negara asing dan badan hukum asing dan untuk mendorong perkembangan investasi
di Indonesia, maka perlu kiranya Pemerintah segera menetapkan Peraturan
Pemerintah yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak asing, dengan
tetap memperhatikan hak-hak warga negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sudaryo Soimin,
S.H.,Status Hak dan Pembebasan Tanah. Hal.1
Urip Santoso,
S.H.,M.H, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah
[1]
) Sudaryo Soimin, S.H.,Status Hak dan Pembebasan Tanah. Hal.1
[2]
) lihat UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria.
MAKALAH HUKUM AGRARIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.
Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan
hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan
tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk
penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang
akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka
dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut
timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak
melakukan wanprestasi.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika
pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai
tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita
sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu
pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa
waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun
Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah
kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah
yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini,
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat
sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa
tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang
bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu
perumusan masalah sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan
dalam paper ini. Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata
yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti
pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara
harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara
lain :
Ø Apa arti dari sengketa Tanah
?
Ø Bagaimana penyelesaian kasus
penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa
timur ?
Ø Sejauh mana kekuatan
sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan penelitian dari paper ini yaitu :
·
Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat
bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
·
Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap
tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut .
·
Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa
mengenai cara menangani suatu sengketa atas tanah .
·
Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang bagaimana
proses penguasaan tanah, jaminan hukumnya, serta penyelesaian mengenai sengketa
tanah bagi para mahasiswa.
1.4
Metode Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan paper ini yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan
mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan berkaitan dengan penelitian.
2. Bahan – bahan yang
didapatkan melalui Intenet.
1.5
Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan,
terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM SENGKETA TANAH, Pada bab ini diuraikan
sekilas mengenai pengertian dari sengketa tanah, bagaimana penyelesaiakan
terhadap sengketa tanah, sertipikat sebagai kekuatan alat nukti dalam
penyelesaian sengketa tanah.
BAB III : INTI MASALAH, Pada bab ini menguraikan mengenai
permasalahan penyelesaian sengketa tanah antara militer di Jawa Timur.
BAB IV : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan
dari materi penyelesaian sengketa tanah dan saran atas paper yang telah dibuat
ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan
merupakan bahan pemberitaan di media massa.
Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
·
· Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
·
· Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan
kepentingan / haknya.
·
· Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan
kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara
perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan
badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna
kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud
antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang
berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat
juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu
pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
2.2 Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan
Pertanahan Nasional)yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang
telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta
dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
Ø mengenai masalah status
tanah,
Ø masalah kepemilikan,
Ø masalah bukti-bukti
perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di
atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan
penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari
hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut
dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan
secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang
lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan
data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang
disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka
selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut
yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar
kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang
tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang
perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan
apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan
pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran
Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun
1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah
yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan
status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan
(CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala
Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan
asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan
ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani
kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan
Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan
melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional
diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara
damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu,
bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi
di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan
keputusan tersebut antara lain :
Ø Undang-Undang No 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ø Peraturan Pemerintah No 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Ø Keputusan Presiden No 34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
Ø Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum
yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.Sebagian besar diajukan langsung oleh
yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
2.3
Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan
membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat
bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian,
yaitu:
·
Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak
bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
·
Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak,
bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
·
Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak
ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah
menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta
tersebut.Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik
mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
berbagai penjelasan dapat di tarik kesimpulan mengenai berbagai masalah yang timbul yaitu dimana Menurut Kepala BPN Pusat,
setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas,
akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah
pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya
petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah
ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan
liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada
bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya,
secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh
perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para
petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.
Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan
sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera
di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi
terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus
dipertaruhkan
3.2 Saran
Apabila akan melakuan suatu
perjanjian mengenai tanah sebaiknya dilakukan dengan membuat suatu perjanjian
tertulis yang di saksian oleh notaris agar tidak ada terjadi kesalah pahaman
antara si pembuat perjanjian.dan perlu juga melampirkan sertifikat asli dari
taanh tersebut.dimana Sertifikat
adalah buku tanah dan surat
ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul
yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kekuatan Pembuktian
Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang
diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak
serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang
tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu
keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
sherenya bermanfaat.. kunjungi juga ya
BalasHapusPusdiklat FH UII Gelar Pelatihan Hukum PPHT