RESEARCH PROPOSAL
JUDUL
PENELITIAN :PELAKSANAAN PROSES
PENYIDIKAN DENGAN TEKNIK PEMBELIAN NARKOTIKA SECARA TERSELUBUNG (UNDER COVER BUY) DI WILAYAH HUKUM POLRES
PELALAWAN.
PROGRAM STUDI :ILMU
HUKUM
RUANG LINGKUP :HUKUM
PIDANA
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
merupakan negara hukum[1],
hal ini berarti setiap individu dalam segi kehidupan manusia yang bertempat
tinggal di Indonesia diatur oleh hukum, baik hukum adat maupun hukum yang di ciptakan oleh pemerintah dan setiap
manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama didalam hukum.
Menurut
Sudikno Mertokusomo, Bahwa “Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana
atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena
rangsangannya dari luar hukum”.[2]
Dimana hukum berusaha untuk mengatur
serta menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat,
berusaha untuk mencari keseimbangan antara memberi kebebasan individu.
Meskipun
hukum di ciptakan untuk kepentingan umum namun masih saja di langgar oleh
sebagian masyarakat, salah satu nya pelanggarannya pada hukum pidana.
Pelanggaran atau disebut sebagai “wederrechtelijk”, yaitu perbuatan-perbuatan
yang sifatnya melawan hukum.[3]
Saat terjadinya pelanggaran pada hukum, pelakasanaan penegakan hukum adalah hal
yang penting. Makna hakiki dari penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum disisni
adalah pemikiran-pemikiran pihak badan pembuat undang-undang yang di rumuskan
dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang bakal di terapkan dalam segenap aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[4]
Penegakan
hukum memuat aspek legalitas dari suatu peraturan yang di terapkan pada setiap
orang atau badan hukum dengan adanya perintah, larangan, dan ancaman sanksi
pidana yang dapat di kenakan terhadap setiap pelanggar yang terbukti bersalah
berdasarkan putusan hakim. Aspek legalitas ini menyebabkan penegakan hukum akan
mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap setiap perbuatan orang yang melanggar
hukum. Dalam konteks sosiologi hukum fase atau tahapan penegakan hukum
merupakan tahapan yang sangat penting untuk menentukan apakah hukum itu dapat
menjalankan tugasnya dan berfungsi secara efektif atau tidak ,apakah hukum
tertulis dapat memberikan rasa adil di tengah-tengah masyarakat ketika hukum
itu sudah di terapkan.
Di
indonesia penegakan hukum dilakukan pidana dilakukan oleh beberapa institusi.
Setiap institusi dalam menegakan hukum tersebut memiliki peran dan fungsi yang
berbeda. Para penegak hukum tersebut adalah polisi, jaksa dan hakim yang mana
mereka bekerja untuk mewujudkan suatu keadilah dan kepastian hukum bagi
masyarakat. Para penegak hukum baik polisi,jaksa dan hakim memiliki lembaga
tersendiri, yang mana setiap lembaga masing-masing melakukan tugasnya
berdasarkan hukum acara yang berlaku yakni hukum acara pidana. Pengertian dari
hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur bagaimana cara beracara dalam
hukum pidana.[5] Penegakan
hukum pidana diatur dalam suatu hukum
acara di karenakan penerapan hukum pidana tersebut menyangkut hak-hak asasi
manusia (HAM) yang berkisar pada kebebasan manusia itu sendiri, sehingga perlu
diatur dan dijamin pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak yang dimiliki oleh setiap masyarakat.
Di
dalam hukum acara pidana mengatur mengenai penyidikan. Penyidikan merupakan
proses yang paling penting untuk menentukan dapat terbuktinya suatu tindak
pidana yang telah di lakukan atau tidak. Penyidikan merupakan suatu penentu
awal untuk dapat mengungkap suatu tindak pidana. Di dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang No 8 Thun 1981 “tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan
sebutan KUHAP”[6],
dikatakan bahwa salah satu penyidik yang dapat melakukan penyidikan adalah
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sedangkan yang di maksud dengan penyidikan
itu sendiri dapat di lihat pada Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dari
pengertian diatas kepolisian mempunyai kewenangan untuk melakuka suatu penyidikan dalam membongkar tindak
pidana yang salah satunya adalah tindak pidana narkotika.
Narkotika
merupakan zat atau obat yang sangat diperlukan untuk pengobatan penyakit
tertentu dan narkotika merupakan bagian dari narkoba. Secara terminologi dalam
kamus besar bahasa indonesia bahwa narkoba adalah obat yang dapat menenangkan
syaraf,menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau rasa
merangsang. Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan. Sedangkan perkataan Narkotika
berasal dari bahasa Yunani yaitu narke
yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang
berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata narcissus yang berarti sejenis
tumbuhan-tumbuhan yang dapat menyebabkan orang tidak sadarkan diri.[7]
Menurut
Soedjono Dirjosisworo, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan
pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang mengunakan dengan memasukannya
kedalam tubuh.[8] Beberapa
pengaruh yang dapat di timbulkan berupa bius, hilangnya rasa sakit, halusinasi,
berkhayal. Dalam dunia medis hal tersebut dilakukan untuk membantu proses
pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Penyalahgunaan narkotika
adalah pengunaan salah satu atau beberapa jenis narkotika yang dilakukan tanpa
aturan kesehatan maupun secara berkala atau teratur sehingga menimbulkan
ganguan kesehatan maupun jasmani jiwa dan fungsi sosial.[9]
Menurut
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,membagi
narkotika menjadi tiga golongan:
- Narkotika Golongan I;
- Narkotika Golongan II; dan
- Narkotika Golongan III.
Pengertian
dari masing-masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada
penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut[10]:
- Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
- Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan;
- Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika
dapat digunakan dengan adanya pengasawan dan pengendalian, karena narkotika
dapat menyebabkan ketergantunggan dimana ketergantungan tersebut dapat
menyebabkan ganguan kesehatan dan jasmani bahkan pada tingkat yang lebih
berbahaya yakni dapat mengakibatkan kematian. Pemakian diluar pengawasan dan
pengendalian ini dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya dapat
membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara.[11]
Pemakaian narkotika oleh manusia dapat mengunakan cara dihirup, dihisap,
ditelan, atau di suntikan.
Menurut
Nailani Muhdi, ada beberapa ciri-ciri kelompok yang pontensial terpengaruh
narkotika, yaitu[12] :
- Kelompok yang pertama adalah kelompok primair yaitu kelompok yang mengalami kejiwaan. Penyebabnya bisa di karenakan kecemasan, depresi dan ketidakmampuan menerima kenyataan hidup.
- Kelompok kedua adalah kelompok skunder, kelompok ini biasanya memiliki kepribadian yang selalu bertentangan denga norma-norma masyarakat. Sifat egosentris sangat kental dalam dirinya. Akibatnya dia melakukan apapun semaunya
- Kelompok ketiga adalah kelompok tersier, merupakan kelompok ketergantungan yang bersifat reaktif. Biasanya terjadi pada remaja yang labil dan mudah terpengaruh dengan kondisi lingkungannya. Juga pada mereka yang kebingungan dalam mencari indentitas diri, selain mungkin adanya ancaman dari pihak tertentu untuk mengkonsumsi narkotika.
Setiap
penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum dan dapat
di kenakan sanksi pidana sebaigaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika.
Pengunaan Narkotika menurut pasal 7 Undang-Undang 35 Tahun 2009, menyebutkan
bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.[13]
Dewasa
ini penyalahgunaan narkotika tidak lagi merupakan kejahatan tanpa korban (victimless crime), melainkan sudah
merupakan kejahatan yang memakan banyak korban dan bencana berkepanjangan
kepada seluruh umat manusia di dunia.[14]
Kejahatan narkotika merupakan suatu kejahatan yang terorganisisir (organized crime), bahwa kejahatan
tersebut mempunyai organisasi dibelakangnya, seperti mafia atau pengedar
obat-obatan.[15] Pada saat ini tidak ada satupun bangsa yang
tidak megalami permasalahan mengenai penyalahgunaan narkotika.
Penyalahgunaan
narkotika berkaitan erat dengan peredaran gelap dari dunia tindak pidana
internasional. Peredaran gelap narkotika semakin marak terjadi. Pada saat ini,
narkotika tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat di kota besar,akan tetapi
bagi masyarakat pedesaan pun narkotika tidak lagi menjadi barang yang langka. Konsumsi
narkotika tidak hanya pada kalangan dewasa saja, tetapi di kalangan remaja dan
anak di bawah umur pun juga telah mengenal barang terlarang tersebut.
Di
indonesia hukum yang mengawasi dan mengendalikan pengunaan narkotika serta
menangulangi penyalahgunaan narkotika dan perawatan para korbannya dikenal
dengan hukum narkotika.[16]
Hukum yang mengatur mengenai narkotika diawali dengan di buatnya Undang-Undang
No 9 Tahun 1976, kemudian pengaturan nya diganti dengan Undang-Undang No 22
Tahun 1997 tentang narkotika yang kemudian di perbaharui dan di ganti lagi
menjadi Undang-Undang No 35 Tahun 2009.
Di
dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 diatur mengenai proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di persidangan yang diatur pada Pasal 73 sampai
dengan 103. Berbicara pemberantasan penyalahgunaan narkotika proses penyidikan
merupakan suatu langkah penentu, yakni untuk pengumpulan alat bukti dan pada
tahap penyidikan ini lah dapat di ketahui status tersangka sebagai pemakai atau
pengedar. Dalam menjalankan proses penyidikan kepolisian dan Badan Narkotika
Nasional (BNN) di berikan wewenang dalam melakukan penyidikan. Dimana
kewenangan penyidikan tersebut tertulis dalam Pasal 75 Undang-Undang No 35 Tahun
2009[17]
:
1)
Melakukan
penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2)
Memeriksa
orang atau koorporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3)
Memanggil
orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi
4)
Menyuruh
berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
5)
Memeriksa
menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6)
Memeriksa
surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
7)
Menangkap
dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
8)
Melakukan
interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diseluruh wilayah yuridiksi nasional;
9)
Melakukan
penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
10)
Melakukan
teknik pembelian secara terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan;
11)
Memusnakan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
12)
Melakukan
tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribounukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh
lainnya;
13)
Mengambil
sidik jari dan memotret tersangka;
14)
Melakukan
pemindaian terhadap orang, barang, binatang dan tanaman;
15)
Membuka
dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat berhubungan
lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
16)
Melakukan
penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
17)
Melakukan
uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
18)
Meminta
bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika; dan
19)
Menghentikan
penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dari
semua kewenangan penyidikan yang diatur, kewenangan untuk melakukan pembelian
terselubung yakni pada point ke-10 “melakukan teknik penyidikan pembelian
terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan”. Teknik pembelian secara
terselubung (under cover buy)
dilakukan untuk mengungkap kejahatan penyebaran narkoba yang dilakukan oleh
bandar-bandar narkoba, jadi dalam teknik ini yang menjadi sasaran yaitu bandar
narkoba bukan pemakai. Kata “terselubung” dapat diartikan tersembunyi, dalam
hal ini penyidik berpura-pura sebagai pecandu narkotika ataupun sebagai
penyalur narkotika.
Berkaitan
dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian
dengan mengangkat judul “PELAKSANAAN
PROSES PENYIDIKAN DENGAN TEKNIK PEMBELIAN NARKOTIKA SECARA TERSELUBUNG (UNDER COVER BUY) DI WILAYAH HUKUM POLRES
PELALAWAN”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang maslah tersebut di atas maka penulis merumuskan suatu rumusan
masalah yang akan di bahas dalam tulisan ini, yaitu:
1.
Bagaimanakah pelaksanaan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika
secara terselubung (under cover buy)
di Polres Pelalawan ?
2.
Apakah yang menjadi kendala penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan
teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan ?
C. Tujuan Dan Mamfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Sebuah
penelitian yang dilakukan karena adanya masalah yang akan menimbulkan suatu
tujuan yang ingin dicapai , adanya tujuan yang ingin dicapai dibagi menjadi 2
(dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan
umum dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan
baik kepada peneliti maupun kepada pembaca mengenai pelaksanaan proses
penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy).
Tujuan
khusus dari pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Untuk mengetahui pelaksanaan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan.
- Untuk mengetahui Apa yang menjadi kendala penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan.
2.
Manfaat Penelitian
Dengan
diadakan nya penelitian ini penulis memperoleh hasil yang dapat dijadikan
pengetahuan baru bagi penulis. Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi
menjadi 2 bagian yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis, yang akan
dijelaskan sebagai berikut.
a. Mamfaat
teoritis, yakni dapat di jadikan sebagai bahan diskusi untuk pembahasan
mengenai narkotika dan dapat di jadikan referensi bagi mahasiswa dalam
penulisan-penulisan yang terkait dengan narkotika selanjutnya.
b. Mamfaat
praktis, yakni berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian
hukum khususnya mengenai
D. Tinjauan Pustaka
Terhadap
suatu peristiwa yang telah dinyatakan sebagai suatu tindak pidana, maka tahap
yang selanjutnya adalah melakukan penyidikan untuk mencari tahu siapa pelaku
dari tindak pidana tersebut[18].
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 KUHAP pejabat yang berwenang melakukan penyidikan
adalah Pejabat Polisi Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang berwenang melakukan
penyidikan berdasarkan KUHAP.[19]
Sistem peradilan pidana yang digariskan
KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated
criminal justice system), yang diletakan diatas landasan prinsip
diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap
proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing aparat.[20]
Perbedaan kewenangan masing-masing aparat penegak hukum ini dapat dilihat dari
ketentuan-ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 14 KUHAP. Penyidikan memiliki peranan
yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya proses pemeriksaan yang
dilakukan jaksa. Hal ini disebabkan pada tahap penyidikan inilah proses awal
diperiksanya suatu tindak pidana.
Pada Pasal 1 angka 2 KUHAP menyebutkan
pengertian penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a salah satu yang diberikan
kewenangan untuk melakukan penyidikan ialah Pejabat Kepolisian Negara. Pasal 6
ayat (1) huruf a KUHAP berbunyi: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum
kepolisian.[21] Setiap
pejabat kepolisian yang menjadi penyidik haruslah memenuhi syarat kepangkatan
seperti apa yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP, yaitu: Syarat kepangkatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam sebuah
Peraturan Pemerintah dengan tetap menselaraskan dan menyeimbangkan dengan
kedudukan dan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim peradilan umum.[22]
Syarat yang harus di penuhi untuk menjadi seorang penyidik yaitu[23]
:
a.
Berpangkat
paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana
strata satu atau yang setara;
b.
Bertugas
dibidang penyidikan paling singkat 2(dua) tahun;
c.
Mengikuti
dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse criminal;
d.
Sehat
dan jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
e. Memiliki
kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Berdasarkan ketentuan diatas maka untuk
menjadi seorang penyidik kepolisian tidaklah mudah. Dimana selain penyidik
berpangkat Inspektur Dua Polisi, juga si penyidik harus memiliki pengalaman 2 tahun
dibidang penyidikan. Kemudian penyidik harus mengikuti pendidikan reserse
criminal dan yang penting pula, penyidik harus sehat jasmani dan rohani.
Dalam pejabat penyidik Polri dikenal
adanya penyidik pembantu. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik
pembantu” diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 58 Tahun 2010 yang merupakan perubahan PP No 27 Tahun 1983.
Menurut ketentuan ini, syarat untuk dapat diangkat menjadi pejabat pembantu
yaitu[24]
:
a.
Berpangkat
paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b.
Mengikuti
dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi reserse criminal;
c.
Bertugas
dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d.
Sehat
jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
e. Memiliki
kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Menurut KUHAP penyidikan tidak hanya
dapat dilakukan oleh pejabat polisi negara melainkan juga pejabat Pegawai
Negeri Sipil(PNS)[25].
Penyidik pegawai negeri sipil adalah mereka yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang[26]. Wewenang khusus yang diberikan kepada pejabat
pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan diberikan oleh sebuah
undang-undang khusus,yakni seperti
undang-undang darurat No 7 Tahun 1955 yang memberikan kewenangan kepada pejabat
pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana ekonomi.
Pada undang-undang narkotika yaitu undang-undang No 35 Tahun 2009 Pasal 82 ayat
(1) yang memuat ketentuan “ pegawai negeri sipil berwenang untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.[27]
Penyidik pegawai negeri sipil memiliki
batasan kewenangan. Dimana batasan ini diatur pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP,
berbunyi “ penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat
(1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
landasan hukumannya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah
koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
Penyidik Polri memiliki kewenangan yang
diatur oleh undang-undang yakni pada Pasal 7 ayat (1) KUHAP, ketentuannya
adalah[28]:
a.
Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.
Melakukan
tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c.
Menyuruh
berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.
Melakukan
penangkapan, penahanan, pengegeledahan, dan penyitaan;
e.
Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.
Mengambil
sidik jari dan memotret seseorang;
g.
Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.
Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.
Mengadakan
penghentian penyidikan;
j.
Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Wewenang penyidik yang diberikan oleh
undang-undang sangat luas. Oleh karena itu penyidik berhak mengurangi kebebasan
dan hak asasi seseorang asal masih tetap pada ketentuan perundang-undangan. Hal
ini dapat dilihat dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Pasal 19 ayat (1).[29]
Namun yang perlu diingat bahwa semua tindakan penyidik yang bertujuan untuk
mengurangi kebebasan dan hak asasi adalah tindakan yang diletakan pada proporsi
demi kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali.[30]
Penangkapan menurut Pasal 1 butir 20
KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam udang-undang ini.
Penyidik dapat mengetahui terjadinya
suatu tindak pidana dan melakukan penangkapan melalui dua kemungkinan, yaitu :
1. Karena
adanya laporan atau pengaduan
2. Tertangkap
tangan
Laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang
kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan
terjadi tindak pidana.[31]
Pengaduan adalah pembritahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.[32]
Bentuk laporan atau pengaduan yang
disampaikan kepada penyidik dapat dalam bentuk tertulis maupun secara lisan.
Dalam hal laporan atau pengaduan tersebut berbentuk tertulis maka harus
ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan si penerima laporan. Apabila dalam
bentuk lisan maka penyidik harus melakukan pencatatan dalam laporan atau
pengaduan.[33]
Tertangkap tangan atau heterdaad (ontdekking op heterdaad) seperti yang di jelaskan Pasal 1 butir 19
KUHAP adalah terungkapnya seseorang pada waktu:[34]
a.
Sedang
melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana, pelaku dipergoki
oleh orang lain.
b.
Atau
dengan cara sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan.
c.
Atau
sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.
d.
Atau
sesaat kemudian pada orang tersebut “ditemukan” benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukan bahwa ia adalah
pelakunya.
Dalam hal tertangkap tangan setiap orang
berhak untuk melakukan penangkapan. Hal ini tertulis pada Pasal 111 KUHAP.[35]
Setelah melakukan penangkapan ada ketentuan yang harus diikuti, yaitu harus
menyerahkan tertangkap beserta alat bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik pembantu. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 ayat (2) KUHAP.
Untuk kepentingan proses penyidikan,
penyidik dapat melakukan pengledahan rumah atau pengledahan pakaian dan
pengledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang hukum
acara pidana.[36]
Pengledahan dapat dilakukan tanpa adanya surat izin ketua Pengadilan Negeri,hal
ini disebabkan karena adanya keadaan yang mendesak sehingga tidak dimungkinkan
untuk mendapatkan izin terlebih dahulu. Pengledahan hanya dapat dilakukan di
tempat yang telah ditentukan pada Pasal 34 KUHAP, yaitu [37]:
a. Pada
halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau yang ada diatasnya.
b. Pada
setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada.
c. Ditempat
tindak pidana yang dilakukan atau terdapat bekasnya.
d. Ditempat
penginapan dan ditempat umum lainnya.
Pengledahan bertujuan untuk mendapatkan
barang bukti, yaitu alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau
kejahatan.[38] Alat
bukti tersebut dapat disita, ketentuan penyitaan ini terdapat pada Pasal 38
KUHAP.
Dalam melakukan penangkapan harus disertai
dengan surat perintah penangkapan.
Apabila tidak adanya surat perintah penangkapan,maka tersangka berhak menolak
untuk mematuhi perintah penangkapan. Hal ini dikarenakan sudah menjadi suatu
prosedur dalam penangkapan. Berbeda dengan tertangkap tangan, tidak memerlukan
adanya surat perintah penangkapan, dengan tetap memperhatikan Pasal 18 ayat (2)
KUHAP.
Setelah dilakukan penangkapan maka tahap
selanjutnya yaitu penahanan. Penahanan menurut Pasal 1 butir 21 adalah
penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-udang ini. Untuk
melakukan penahanan, pejabat yang berwenang adalah penyidik sesuai dengan Pasal
20 ayat (1) KUHAP. Jenis penahanan menurut Pasal 22 KUHAP yaitu :
a. Penahanan
Rumah Tahanan Negara
b. Penahanan
Rumah
c. Penahanan
Kota
Penghentian penyidikan dapat dilakukan
dalam hal tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu
tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Wewenang penyidik harus dilaksanakan
dengan penuh kebijaksanaan, karena pada proses penyidikan diarahkan untuk
mendapatkan bukti yang mengakibatkan tersangka dapat dituntut dan dihukum.
Namun tidak jarang terjadi dalam proses peradilan pidana, penyidikan yang
dilakukan berakhir dengan pembebasan tersangka. Pembebasan disini tidak
didasarkan pada kurangnya alat bukti, namun terdapat kepentingan pribadi dari
penyidik. Hal ini dapat merusak citra kepolisian di dalam masyarakat, skolnick
mengatakan bahwa :
“Seringkali
tujuan polisi ialah supaya hampir semua tersangka yang ditahan, dituntut,
diadili dan dipidana dan menurut pandangan polisi setiap kegagalan penuntutuan
dan pemidanaan merusak kewibaannya dalam masyarakat. Penuntut umum pun tak mampu
menuntut, manakala polisi memperkosa hak-hak tersangka dalam proses, karena
perkosaan yang demikian mengakibatkan bebasnya perkara itu di pengadilan”.[39]
Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik
harus memiliki pengetahuan yang mendukung karena pelaksanaan pernyidikan
bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang lengkap. Ada berberapa ilmu
pengetahuan yang harus dikuasai untuk membantu menemukan kebenaran material,
antara lain: logika psikologi, kriminalistik, psikiatri, dan kriminologi.[40]
E. Konsep Operasional
Agar permasalahan yang diteliti lebih jelas dan
untuk menghindari kesalahan dan kerancuan dalam pengertian judul maka penulis
menganggap perlu untuk memberikan batasan-batasan dari pengertian dan
istilah-istilah judul yang dimaksud.
Pelaksanaan adalah orang yang mengerjakan atau
melakukan rencana yang telah disusun (perbuatan, usaha) melaksanakan rancangan.[41]
Dalam hal ini perbuatan untuk melaksanakan proses penyidikan dengan teknik
pembelian narkotika secara terselubung (under
cover buy) di wilayah hukum polres pelalawan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[42]
Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi
penyidikan yang mendahulukan tindakan lain, yaitu penindakan berupa
penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.[43]
Teknik pembelian narkotika secara terselubung
adalah suatu teknik penyamaran sebagai calon pembeli (under cover buy) yang
dilakukan untuk mendapatkan bahan keterangan atau informasi.[44]
F. Metode Penelitian
Penelitian
merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistimatis, dan konsisten.[45]
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistimatis adalah
berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.[46]
Oleh karnanya penelitian hukum itu harus berdasarkan suatu metode, maka dalam
hal ini akan diuraikan metode yang di pakai dalam penelitian ini.
- Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasi (observational research) dengan cara survey. Artinya penulis akan turun
langsung ke lapangan untuk memperoleh informasi dan data mengenai pelaksanaan
proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di wilayah hukum Polres
Pelalawan.
Sedangkan
apabila ditinjau dari sifat penelitiannya, maka penelitian ini di kategorikan
penelitian yang bersifat deskriptif analtis, yaitu untuk memberikan gambaran
yang selengkap-lengkapnya tentang norma-norma penegakan hukum terhadap tindak
pidana narkotika dan kendala yang di hadapi oleh penyidik dalam melaksanakan
penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy).
- Lokasi Penelitian
Dalam
rangka pelaksanaan penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan, maka
penelitian dilakukan di wilayah hukum Polres Pelalawan. Lokasi penelitian ini
dipilih karena di wilayah Kabupaten Pelalawan terdapat suatu kejahatan narkotika.
- Populasi dan Responden
Populasi
adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama.[47]
Populasi dan responden dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah
beberapa pihak, antara lain sebagai berikut :
Tabel 1
Populasi dan Responden
NO
|
RESPONDEN
|
KETERANGAN
|
1
2
|
Kasat Reserse Narkoba
Anggota Reserse Narkoba
|
1
3
|
Jumlah
|
4
|
Jumlah
Populasi yang yang relatif sedikit, maka metode penelitian ini mengunkan metode
sensus, sehingga memungkinkan peneliti mengunakan populasi secara keseluruhan
sebagai responden.
- Data dan Sumber Data
Sebagai
sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu
sebagai berikut:
a. Data primer adalah data utama yang diperoleh
penulis secara langsung dari wawancara dengan responden, yaitu Kepolisian di
wilayah Polres Pelalawan.
b. Data skunder adalah data yang diperoleh
penulis dari buku-buku literatur, undang-undang, dan media internet yang
memiliki hubungan dengan judul dan masalah pokok dalam penelitian ini.
- Alat Pengumpul Data
Dalam
penelitian ini, alat pengumpul data yang penulis gunakan adalah wawancara.
Wawancara adalah proses pengumpulan data yang dilakukan secara langsung oleh
penulis dengan responden untuk memperoleh informasi yang benar.
- Analisis Data
Penulis
mengunakan data wawancara, dan selanjutkan diolah dan dikumpulkan menjadi satu
data-data dilapangan kemudian disajikan dan dibandingkan dengan pendapat para
ahli dan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan judul dan masalah
pokok penelitian.
- Metode Penarikan Kesimpulan
Metode
penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu dari suatu
hal yang bersifat umum ke arah yang bersifat khusus.
G. Sistimatiaka Penulisan
Sistimatika
usulan penulisan skripsi adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Perumusan
Masalah
C. Tujuan
dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan
Pustaka
E. Konsep
Operasional
F. Metode
Penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Tindak
Pidana Narkotika dan Pengaturannya
B. Tinjauan Tentang Wilayah Hukum Polres
Pelalawan
BAB III HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Proses Penyidikan Dengan Teknik Pembelian Narkotika Secara Terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan.
B. Kendala
Penyidik Dalam Melaksanakan Penyidikan Dengan Teknik Pembelian Narkotika Secara
Terselubung (under cover buy) di
Polres Pelalawan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.
Buku-Buku
Andi
Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta,1983.
AR.
Sujono dan Bony Daniel, Komentar &
Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika,2011.
A.
Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia
dalam praktek,cet 1, Pustaka Kartini,1990.
Badan
Narkotika Nasional, Pedoman Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba bagi Pemuda, Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia, 2011.
Bambang
Sugono, Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo, Jakarta, 2005.
Hari
Sasangka, Narkotika dan Psikotropika
Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Lilik
Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif,
Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung, PT Alumni, 2007.
Mien
Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan
Kriminologi Sebuah Bunga Serampai, Bandung:Alumni, 2009.
Moch.
Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam
Teori dan Praktek, Bandung:Mandar Maju, 2001.
M.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Ed.2, Jakarta:Sinar Grafika,
2005.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty
Yogyakarta, 1985.
Soedjono
Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia,
cet.1, Bandung : Alumni,1987.
____________,
Anatomi Kejahatan di Indonesia,
Granesia Bandung. 1996.
Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
cetakan ketiga, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
W.JS
Poerwadarmita, Kamus umum bahasa
Indonesia, Arkola, Surabaya, 1986.
2. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 (amandemen ke-4)
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang
No 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika
Undang-Undang
No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manejemen Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983.
3.Situs Internet
[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 Negara Republik Indonesia: “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.
[2]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta, 1985, hlm.40.
[3]Moeljatno, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Bina Aksara, hlm. 71.
[4]Sajipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, hlm. 15.
[5] A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam praktek,cet 1, Pustaka
Kartini,1990, hlm.9.
[6] Pasal 6 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana: penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Republik
Indonesia,b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
[7] Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum
Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.35.
[8]Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, cet.1,
Bandung : Alumni,1987, hlm.3.
[9] www.inspirasi.com, diakses pada tanggal 8
febuari 2014.
[10] AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika,2011,hlm.72.
[11]Soedjono Dirjosisworo, Loc. Cit.
[12] Hari Sasangka, Op. Cit., hlm.10.
[13]Pasal 7, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
[14] Badan Narkotika Nasional, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
bagi Pemuda, Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2011.,
hlm.4.
[15] Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan di Indonesia, Granesia
Bandung. 1996., hlm.171.
[16] Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam hukum
pidana (untuk mahasiswa dan praktisi serta penyuluh masalah narkoba), Op.Cit., hlm.4.
[17]
Pasal 75, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
[18] Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi Sebuah
Bunga Serampai, Bandung:Alumni, 2009, hlm.,41.
[19] Pasal 1 butir 1, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[20] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Ed.2, Jakarta:Sinar Grafika, 2005, hlm.90.
[21]Pasal 1 butir 3, Undang-Undang Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002.
[22]Penjelasan Pasal 6 ayat (2),
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[23] Pasal 2A ayat (1), Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010.
[24] Pasal 3 ayat (1), Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010.
[25] Pasal 6 ayat (1) huruf b, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
[26] M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
[27] Pasal 82 ayat (1), Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika
[28] Pasal 7 ayat (1), Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[29] Pasal 19 ayat (1), Undang-undang
No 2 Tahun 2002: “Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian Republik Indonesia senantiasa
bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan,
kesusilaan, serta menjungjung tinggi hak asasi manusia”.
[30] M.Yahya Harahap, Op. Cit.,hlm.157.
[31] Pasal 1 butir 24, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[32] Pasal 1 butir 25, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[33] M.Yahya Harahap, Op. Cit., hlm.119-120.
[34] Ibid.,hlm.120-121.
[35]Pasal 111, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana: “Dalam hal tertangkap
tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang
dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap
tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik
atau penyidik”.
[36] Pasal 32, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
[37] Pasal 34, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
[38] Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Bandung:Mandar Maju, 2001,hlm.87.
[39] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta,1983.hlm.34-36.
[40] Ibid.
[41] W.JS Poerwadarmita, Kamus umum bahasa Indonesia, Arkola,
Surabaya, 1986,hlm.553.
[42]Pasal 1 angka 2, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[43] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis,
Praktik dan Permasalahannya, Bandung, PT Alumni, 2007, hlm. 55.
[44] Lihat Pasal 24 bagian (f),
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana.
[45]
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986,
hlm.42.
[46]
Ibid.
[47] Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2005, hlm.118.
Untuk Skripsi bisa email di pinussinaga@gmail.com
Untuk Skripsi bisa email di pinussinaga@gmail.com