PERANAN OTONOMI DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

DISUSUN
OLEH
PINUS
JULIANTO SINAGA
( 101010208 )
UNIVERSITAS
ISLAM RIAU
ILHU
HUKUM
2011
KATA PENGANTAR

Asslamu’ alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Puji syukur kita panjatkan atas
kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkanrahmat,taufik
dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan
makalah ini.Makalah ini disusun agar pembaca
dapat memperluas tentang ilmu hukum yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupunyang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhanakhirnya makalah ini dapat terselesaikan.Makalah
ini membahas tentang “PERANAN
OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ”.
Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen Ardiansyah
SH, MH. yang telah membimbing
penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara saya menyusun makalah ini.
Semoga makalah
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Walaupun makalah
ini memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yangmembangun
dari semua pihak kami harapkan. Terima kasih.
Pekanbaru, Desember 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Demokrasi di
Indonesia saat ini adalah demkrasi yang memperhatikan aspirasi masyarakat.
Menurut Kuncoro(2007:55)” demokrasi diartikan sebagai pemerintah atau kekuasaan
dari rakat untuk rakyat” dan demokrasi yang tepat dalam hal pembagian kekuasaan
adalah penerapan desentralisasi. Dalam era orde baru pelaksanaan demokrasi
seperti ini membuat orde baru jatuh pada masa krisis yang tengah melada asia
dan digantikan ke era reformasi yang menekankan kepada demokrasi yang lebih
bebas dalam berpendapat serta sistim demokrasi yang tidak terpusat atau
desentralisasi(Wijaya, 2005:2). Inti dari desentralisasi adalah penyerahan
urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya. Untuk menjalankan system desentralisasi ini,
maka di bentuklah suatu system desentralisasi yang di sebut dengan otonomi
daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, kewajiban Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya hal ini maka di
harapkan terjadinya percepatan ekonomi dan mempercepat tujuan pembagunan nasional.
Adanya otonomi
daerah tentunya juga aka memacu daerah untuk mampu mengelola daerahnya sediri
agar mampu menjadi daerah yang mandiri dan menjadi sumber bagi pembagunan
nasional. Dengan adanya rangsangan yang memacu daerah inilah yang akan membuat
daerah berlomba-lomba meningkatkan potensinya masing-masing sehingga mampu
menimbulkan suatu percepatan ekonomi.
Maka sangatlah
jelas bahwa otonomi daerah memiiki peran yang sangat penting terhadap
pembangunan suatu daerah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah Otonomi Daerah ?
2.
Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan Otonomi di Indonesia ?
3.
Bagaimana Otonomi Daerah Mampu Mempengaruhli Pertumbuhan Ekonomi suatu
Daerah ?
C.
Tujuan Pembuatan
1.
Mengetahui arti otonomi daerah
2.
Mengetahui jalannya pelaksanaan otonomi daerah
3.
Mengetahui bagaimana otonomi
daerah mampu mempengaruhli pertumbuhan ekonomi suatu daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut undang-undang no 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah yang di maksud otonomi daerah adalah hak, wewenang,
kewajiban Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya yang di maksud dengan
daerah otonom, selanjutnya di sebut daerah,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu
yang berhak, berwenang, berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peratura perundang-udangan yang berlaku.
Otonomi daerah memiliki peran penting dalam penerapan demokrasi di Indonesia
terutama pada fungsi pembagian kekuasaan yang berarti mengurangi peran
pemerintah pusat dan memberikan otonomi daerah(desentralisasi). Konsep desentralisasi sendiri sebenarnya
sudah ada sejak tahun 1974 dengan di bentuknya Undang-Undang No. 5 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Akan tetapi gelombang perubahan yang
melanda Indonesia pasca jatuhnya
pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru tentang konsep
desentralisasi yaitu otonomi daerah .
A. Sejarah Pekembangan Otonomi Daerah
Sejarah
perkembangan otonomi daerah dapat dibagi menjadi beberapa tahap diantaranya sebagai
berikut :
a. UU Nomor 1 Tahun 1945
Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam
pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar
daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang
bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang
lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan
Undang-undang. Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah
di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat
dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita
darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 (enam )
pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian
dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak
ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam
undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan,
kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi
kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk
berbentuk administratif belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya,
Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini
kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor
102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan
yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari
uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa
yang dianut oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok
tentang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam
UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a.
Propinsi
b.
Kabupaten/ Kota Besar
c.
Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya A s/d C tyang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam
undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang
dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita
harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas
rumah tangga daerah. Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada
pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagi berikut:
1.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
2.
Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam
undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari
kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau
kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah
termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali
apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari
uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut sistem atau ajaran
materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini
menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah
pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya
setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan
kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja sistem ini ternyata tidak dianut secara
konsekuen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat
4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur
didalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah
atau dalam peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan
ini terlihat jelas membawa ciri sistem rumah tangga formil. Jadi pada dasarnya
UU ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja
karena sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan
UU ini menganut sistem Materil.
Perlu
dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar,
dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang
wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan
Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini
diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1
tahun1957
Dalam
perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun
nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana
secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan
tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3
sebagai berikut:
1.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa
lain.
2.
Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan
pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh
dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3.
Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan
dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat
daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III
setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat
diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari
ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh
lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948.
karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem
otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada
pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini
menganut system yang dapat diberi nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan
pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6
tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem
Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit
Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini
daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala
Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme
kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di
Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU
ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun
1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga
menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan
umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun
1957.
Dalam pelaksanaannya meski
konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan
seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih
berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda
dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965)
yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak
berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau
pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana
diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar
dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a.
Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas
dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas
desentralisasi ;
b.
Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan
bertanggungjawab.
Menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga
menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut
untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang
mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat
dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1.
Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu
yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2.
Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku;
3.
Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah”
4.
Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada
daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang
setingkat.
5.
pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang
yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan
diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system atau ajaran rumah
tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan
tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam
Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang
merupakan ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana
UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang
tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Untuk dapat mengetahui
system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang
mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan
kepada daerah. Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU
Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/
kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang
luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang
mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat
dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1.
Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan
bidang lain.
2.
Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota
serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota.
Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah pusat.
3.
Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang
tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
sesuai dengan perundang-undangan.
4.
Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup
semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7
dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat
system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan
antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil.
Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal
11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang
merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan
dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal
70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki
kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya.
Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang
lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga
formil.
f. UU Nomor 32 tahun 2004
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini
adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan Daerah otonom, selanjutnya disebut
daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip pemberian
Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :
1.Penyelengaraan
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2.Pelaksanaan
Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3.Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.
4.Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5.Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah
administratif.
6.Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran
atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
B. Peranan Otonomi Daerah
Terhadap Ekonomi Daerah
Era
reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan
nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembagunan
secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan
melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah
diatur dalam satu paket undang-undang yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan
pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi
daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa
Indonesia berupa ancaman disentrgrasi bangsa, kemiskinan, ketidak merataan
pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat dan masalah pembaguna sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia
untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian
daerah.
Otonomi
yang diberikan kepada daerah dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara
proporsiona. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan,
pembagian, dan pemamfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal
yang mendasar pada undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong
pemberdayaan masyarakat, perkembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan
peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini
memberikan otonomi secara penuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk
membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah di berikan kewenagan penuh
untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi
kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partsipasi masyarakat ini,
desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan
lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah dari
command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelakasanaan peran
pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur
(wirausaha ) dalam proses pembangunan.
Maka
dengan demikan jelas bahwa peran otonomi daerah sangat besar terhadap
perkembangan ekonomi daerah karena otonomi daerah membeikan kewenangan bagi
daerah untuk mengelola segala potensi yang ada dalam daerahnya masing-masing.
Hal ini akan menstimulan masyarakat daerah itu sendiri untuk berbuat lebih maju
agar daerahnya sendiri dapat maju dan berkembang.
C. Bagaimana Otonomi Daerah
Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Suatu Daerah
Pemberian otonomi daerah di
harapkan dapat meningkatkan efisiensi, efekivitas, dan akuntanbilitas sektor
publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah di tuntut untuk mencari alternative
sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masi adanya bantuan dan
bagian sharing dari pemerintah pusat dan mengunakan dana publik sesuai dengan
prioritan dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi seperti ini,
peran investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat di harapkan sebagai
pemicu utama pertumbuhandan pembagunan ekonomi daerah. Daerah juga di harapkan
mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta
menimbulka efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah
diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah
melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif
masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :
1.
Menciptakan efisiensi dan
efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2.
Meningkatkan kualitas
pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3.
Memberdayakan dan
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta ( berpartisipasi) dalam proses
pembagunan.
Globalisasi
ekonomi telah meningkatkan persaingan antar Negara dalam suatu sistem ekonomi
internasional. Salah satu dengan cara menghadapi dan memamfaatkan perdagangan
internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan
produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktual untuk memperkuat kedudukan
dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.
Menurut
Mardiasmo( 2002) ” Perubahan struktual adalah perubahan dari ekonomi
tradisional yang subsistem menuju ekonomi yang modern yang berorientasi pada
pasar”. Untuk mendukung perubahan struktual dari ekonomi tradisional yang
subsistem menuju ekonomi yang modern ini di perlukan pengalokasian sumber daya,
penguatan kelembagaan, penguatan teknologi pembagunan sumber daya manusia.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Pemberian peluang atau skes
yang lebih besar kepada asset prosuksi, yang paling mendasar adalah askes pada
dana.
2.
Memperkuat posisi
transaksidan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
3.
Meningkatkan pelayanan
pendidikan dan kesehatan dalam rangka
kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi
4.
Kebijakan pengembangan industri
harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri
besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil dan
menengah yang harus kuat menjadi tulang punggung industri nasional.
5.
Kebijakan ketenagakerjaan
yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja yang mandiri sebagai cikal bakal
wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah
yang kuat dan saling menunjang.
6.
Pemerataan pembagunan antar
daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh penjuru tanah air,
\ Oleh karena itu pemerataan pembagunan
daerah diharapkam mempengaruhi peningkatan pembaguna ekonomi rakyat.
`BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari pembahasan diatas adalah :
1.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
2.
Pada masa orde baru peran
pemerintah terlalu dominan dalam segala kebijakan sehingga muncul gelombang
baru pada era reformasi yang menghendaki adanya kewenangan terhadap daerah
memalui otonomi daerah
3.
Otonomi daerah memiliki
peranan yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi daerah karena otonomi
memberikan kewenangan dagi daerah untuk mengelola segala potensi yang ada dalam
daerahnya masing-masing. Hal ini akan menstimulan masyarakat itu sendiri untuk
berbuat lebih maju agar daerahnya sendiri maju
4.
Salah satu kunci
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah
dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian,
diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi
masyarakat daerah dapat dibagun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih
bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi,
W(Ed.). 2005.Otonomi Daerah dan
Optimalisasi Sumber Daya Ekonomi, Jakarta:Pusat Penenlitian Ekonomi-LIPI
Kaelan,(Ed.).2007.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan
Tinggi. Yogyakarta:Paradigma.
Kuncoro
(2004).Otonomi dan Pembaguan
Daerah;Reformasi,Perencanaan,Strategi dan peluang, Jakarta: Penerbit
Erlangga
Mardiasmo.
2002. Otonomi Daerah Sebagai
UpayaMemperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Ekonomi Rakyat. Jilid 4, No.3,
(online).
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-undang
No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar