MAKALAH OTONOMI DAERAH


PERANAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
DISUSUN OLEH
PINUS JULIANTO SINAGA
( 101010208 )
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
ILHU HUKUM
2011



 
KATA PENGANTAR
BISMILAH17
Asslamu’ alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkanrahmat,taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas tentang ilmu hukum yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupunyang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhanakhirnya makalah ini dapat terselesaikan.Makalah ini membahas tentang PERANAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ”.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Ardiansyah SH, MH. yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara saya menyusun makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yangmembangun dari semua pihak kami harapkan. Terima kasih.
Pekanbaru,  Desember 2011

    Penyusun




 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Demokrasi di Indonesia saat ini adalah demkrasi yang memperhatikan aspirasi masyarakat. Menurut Kuncoro(2007:55)” demokrasi diartikan sebagai pemerintah atau kekuasaan dari rakat untuk rakyat” dan demokrasi yang tepat dalam hal pembagian kekuasaan adalah penerapan desentralisasi. Dalam era orde baru pelaksanaan demokrasi seperti ini membuat orde baru jatuh pada masa krisis yang tengah melada asia dan digantikan ke era reformasi yang menekankan kepada demokrasi yang lebih bebas dalam berpendapat serta sistim demokrasi yang tidak terpusat atau desentralisasi(Wijaya, 2005:2). Inti dari desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Untuk menjalankan system desentralisasi ini, maka di bentuklah suatu system desentralisasi yang di sebut dengan otonomi daerah.  Otonomi daerah adalah hak, wewenang, kewajiban Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya hal ini maka di harapkan terjadinya percepatan ekonomi dan mempercepat tujuan pembagunan  nasional.
Adanya otonomi daerah tentunya juga aka memacu daerah untuk mampu mengelola daerahnya sediri agar mampu menjadi daerah yang mandiri dan menjadi sumber bagi pembagunan nasional. Dengan adanya rangsangan yang memacu daerah inilah yang akan membuat daerah berlomba-lomba meningkatkan potensinya masing-masing sehingga mampu menimbulkan suatu percepatan ekonomi.
Maka sangatlah jelas bahwa otonomi daerah memiiki peran yang sangat penting terhadap pembangunan suatu daerah.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apakah Otonomi Daerah ?
2.     Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan Otonomi di Indonesia ?
3.     Bagaimana Otonomi Daerah Mampu Mempengaruhli Pertumbuhan Ekonomi suatu Daerah ?

C.    Tujuan Pembuatan
1.     Mengetahui arti otonomi daerah
2.     Mengetahui jalannya pelaksanaan otonomi daerah
3.     Mengetahui  bagaimana otonomi daerah mampu mempengaruhli pertumbuhan ekonomi suatu daerah


















BAB II
PEMBAHASAN

Menurut undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang di maksud otonomi daerah adalah hak, wewenang, kewajiban Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya yang di maksud dengan daerah otonom, selanjutnya di sebut daerah,  adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang,  berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peratura perundang-udangan yang berlaku. Otonomi daerah memiliki peran penting dalam penerapan demokrasi di Indonesia terutama pada fungsi pembagian kekuasaan yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi daerah(desentralisasi).  Konsep desentralisasi sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1974 dengan di bentuknya Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Akan tetapi gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca  jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru tentang konsep desentralisasi yaitu otonomi daerah .
A.    Sejarah Pekembangan Otonomi Daerah
Sejarah perkembangan otonomi daerah dapat dibagi menjadi beberapa tahap diantaranya sebagai berikut :
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang. Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administratif belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya A s/d C tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah. Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagi berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja sistem ini ternyata tidak dianut secara konsekuen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri sistem rumah tangga formil. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan UU ini menganut sistem Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960. Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Untuk dapat mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah.  Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil.
f. UU Nomor 32 tahun 2004
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :
1.Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2.Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3.Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

B.    Peranan Otonomi Daerah Terhadap Ekonomi Daerah
Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembagunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah diatur dalam satu paket undang-undang yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas nyata dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disentrgrasi bangsa, kemiskinan, ketidak merataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat dan masalah pembaguna  sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsiona. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian, dan pemamfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal yang mendasar pada undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, perkembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara penuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah di berikan kewenagan penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partsipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelakasanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha ) dalam proses pembangunan.
Maka dengan demikan jelas bahwa peran otonomi daerah sangat besar terhadap perkembangan ekonomi daerah karena otonomi daerah membeikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segala potensi yang ada dalam daerahnya masing-masing. Hal ini akan menstimulan masyarakat daerah itu sendiri untuk berbuat lebih maju agar daerahnya sendiri dapat maju dan berkembang.

C.    Bagaimana Otonomi Daerah Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Suatu Daerah
Pemberian otonomi daerah di harapkan dapat meningkatkan efisiensi, efekivitas, dan akuntanbilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah di tuntut untuk mencari alternative sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masi adanya bantuan dan bagian sharing dari pemerintah pusat dan mengunakan dana publik sesuai dengan prioritan dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi seperti ini, peran investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat di harapkan sebagai pemicu utama pertumbuhandan pembagunan ekonomi daerah. Daerah juga di harapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulka efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :
1.     Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2.     Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3.     Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta ( berpartisipasi) dalam proses pembagunan.
Globalisasi ekonomi telah meningkatkan persaingan antar Negara dalam suatu sistem ekonomi internasional. Salah satu dengan cara menghadapi dan memamfaatkan perdagangan internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktual untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.
Menurut Mardiasmo( 2002) ” Perubahan struktual adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi yang modern yang berorientasi pada pasar”. Untuk mendukung perubahan struktual dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi yang modern ini di perlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi pembagunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Pemberian peluang atau skes yang lebih besar kepada asset prosuksi, yang paling mendasar adalah askes pada dana.
2.     Memperkuat posisi transaksidan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
3.     Meningkatkan pelayanan pendidikan  dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi
4.     Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil dan menengah yang harus kuat menjadi tulang punggung industri nasional.
5.     Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja yang mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
6.     Pemerataan pembagunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh penjuru tanah air,
\          Oleh karena itu pemerataan pembagunan daerah diharapkam mempengaruhi peningkatan pembaguna ekonomi rakyat.







`BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
     Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas adalah :
1.     Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2.     Pada masa orde baru peran pemerintah terlalu dominan dalam segala kebijakan sehingga muncul gelombang baru pada era reformasi yang menghendaki adanya kewenangan terhadap daerah memalui otonomi daerah
3.     Otonomi daerah memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi daerah karena otonomi memberikan kewenangan dagi daerah untuk mengelola segala potensi yang ada dalam daerahnya masing-masing. Hal ini akan menstimulan masyarakat itu sendiri untuk berbuat lebih maju agar daerahnya sendiri maju
4.     Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibagun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.











DAFTAR PUSTAKA
Adi, W(Ed.). 2005.Otonomi Daerah dan Optimalisasi Sumber Daya Ekonomi, Jakarta:Pusat Penenlitian Ekonomi-LIPI
Kaelan,(Ed.).2007.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta:Paradigma.
Kuncoro (2004).Otonomi dan Pembaguan Daerah;Reformasi,Perencanaan,Strategi dan peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai UpayaMemperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Ekonomi Rakyat. Jilid 4, No.3, (online).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar